Bab 22

8.6K 1.1K 55
                                        

Gawaiku berbunyi setibaku di ruangan kerja seusai visite pasien. Kuperhatikan layar datar itu, ada satu nomor yang menghubungi lewat sambungan video. Siapa? Aku belum menyimpannya, berarti aku tidak mengenalnya. Kuabaikan panggilan itu dan memilih kembali ke pekerjaanku. 

"Siapa sih?" 

Aku mengomel sendiri ketika dering gawai kembali terdengar. Kuusap ikon hijau hingga panggilan dari nomor tak dikenal itu tersambung. Terpampang seorang gadis kecil berponi penuh yang memenuhi layar. Astaga, Ana.

"Tante kok lama banget angkat telponnya?"

Dia menggerutu, bibirnya manyun, lucu sekali.

"Assalamualaikum. Maaf tadi Tante lagi ada kerjaan." sahutku setengah berdusta. Oh ternyata ini nomor milik Ana.

"Ikum salam. Tante katanya mau main ke sini?"

Ingatan anak kecil memang kuat. Sepagi ini dia sudah menagih janji. "Tante 'kan harus kerja dulu, Sayang."

"Emang nggak libur? Ana hari ini libur, nggak pergi ke sekolah."

Aku menggeleng seraya tersenyum. Jadwalku memang masuk walaupun ini hari minggu. "Nanti kalau kerjaan Tante udah selesai, kita main bareng, ya."

Binar mata Ana terpancar cerah. Sangat cantik. "Beneran? Tante ke sini, ya?"

Terdiam sejenak, ke sana, mana mungkin. "Eng ...."

"Nanti kita jemput Tante Dian ke rumah sakit."

"Tante, kata Papa nanti mau jemput ke rumah sakit."

Tante sudah dengar sendiri tadi, Ana. Aku hanya bisa tersenyum. Bertemu Kak Dean lagi, secepat ini? Aku belum siap, sumpah.

Layar bergerak dan kini menampilkan seorang pria dewasa dengan alisnya yang datar. Rambut dan jambangnya terlihat lebih rapi dari terakhir aku melihatnya kemarin. Nampak lebih segar dan lebih tampan. Astagfirullah.

"Pulang jam berapa?"

Dia bertanya, intonasinya pelan cenderung sangat lembut. Tidak ada kekehan jahil seperti dulu kala. Kak Dean yang sekarang memang sudah banyak berubah.

"Pulang jam berapa? Nanti aku jemput sama Ana."

Aku mengerjap ketika dia sampai mengulang pertanyaannya, kuyakin pipiku pasti sudah merah karena rasanya sudah agak panas. Aku malu. "Sekitar jam empat lebih."

"Kamu nggak bawa mobil sendiri 'kan?"

Menggeleng pelan macam orang yang terkena hipnotis. Atau memang sebenarnya aku sudah terhipnotis sejak wajahnya terpampang. Tadi pagi aku memang diantar sopir keluarga Mas Arya.

"Bagus. Tungguin nanti aku ke sana. Jangan minta dianter Indra."

Klik. Sambungan terputus. Layar gawaiku kembali ke beranda awal. Dia memutuskan sambungan sebelum aku mengiyakan dan tanpa mengucap salam. Dasar, kebiasaannya yang itu ternyata belum berubah. Ngomong-ngomong tentang Kak Indra, aku harus segera meminta maaf padanya karena kejadian kemarin sore. Semoga saja dia tidak marah.

Sekelumit RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang