"Tiga hari lalu demam, terus Tante telpon Lintang. Katanya beliin obat dulu di apotek. Sama bapaknya dibeliin, nurut gambar yang dikirimin sama Lintang. Panasnya udah turun, tapi tadi pagi naik lagi."
Tante Lis mengutarakan gejala pada tubuh cucunya. Sembari aku memeriksa detak jantung dan denyut nadinya. "Batuk pilek juga, Tan?"
"Enggak, Yan."
Saat datang tadi, Tante Lis memanggilku dengan sebutan Bu Dokter. Risih, entahlah, aku merasa aneh saja ketika dipanggil olehnya seperti itu. "Ana, kepalanya pusing nggak? Kayak ada yang muter-muter gitu nggak, Sayang?"
Anggukannya lemah. Anak ini seperti tak punya tenaga sama sekali. Pipinya yang dulu gembul kini mulai menirus. Anak-anak memang begitu. Berat badannya bisa turun drastis ketika sedang sakit.
"Makan minumnya gimana, Tan?" tanyaku menatapnya sebentar.
Tante Lis menggeleng sebelum menjawab. "Susah, dua hari ini cuma mau minum susu. Itupun cuma sedikit."
Aku mengulurkan termometer di depan dahi Ana. Menunggu sejenak hingga benda itu berbunyi, 39 derajat celcius. Astagfirullah panas sekali. "Nggak usah pulang ya, Tan. Di opname dulu. Ini panasnya tinggi banget." Kutunjukkan angka yang muncul di layar pengukur suhu tubuh kepada Tante Lis. Aku khawatir jika suhunya semakin tinggi dan malah akan membuatnya kejang.
"Ana sakit apa, Yan?"
Aku hanya bisa memberikan senyum kecil. "Nanti kita cek lab dulu ya, Tan." Aku memang seorang dokter, tapi aku bukan cenayang yang bisa menebak suatu penyakit. Semua harus melewati tahapan pemeriksaan untuk menguatkan diagnosa. Meskipun diagnosa awalku Ana terkena virus demam berdarah, tapi aku tidak ingin membuat Tante Lis semakin khawatir. Biarlah nanti jika hasilnya sudah keluar akan kujelaskan pelan-pelan.
"Eyang, apa Ana mau disuntik?" Suara lirih Ana keluar, sendu melihat neneknya.
"Ah, enggak dong, Sayang." Ibu sahabatku itu mengusap kepala Ana perlahan-lahan. Kentara sekali limpahan kasih sayangnya yang tercurah.
"Iya, enggak disuntik kok. Nanti Tante cuma pinjem darahnya Ana sedikit aja." Kukatupkan jari telunjuk dan jempolku ketika mengucap kata sedikit. Pinjam, aku agak menyesali ucapanku barusan. Memangnya ada darah yang bisa dipinjam? Dokter macam apa aku ini.
Kutinggalkan mereka di brankar pemeriksaan dan kembali ke meja kerja. Kemudian menghubungi perawat jaga untuk menyiapkan peanganan untuk Ana.
Wajah pucat, badan lemas, ruam merah dan pandangan kosong. Aku curiga Ana terkena virus Demam Berdarah Dengue. Musim penghujan memang identik dengan nyamuk yang banyak berkembang biak. Saat kutempelkan stetoskop di permukaan dadanya tadi, dia hanya pasrah, binar mata bulatnya tak secerah terakhir kali kami bertemu di rumah mas Arya waktu itu. Ya, itu adalah yang pertama dan kuperkirakan menjadi satu-satunya pertemuan kami. Karena aku bertekad tidak ingin bertemu dengan ayahnya lagi.
__
Molor satu jam dari jam kerja, aku baru bisa melepas snelliku. Ana menangis kencang ketika melihat jarum suntik saat perawat ingin mencari jalan infus di tangan kanannya. Mau tak mau aku yang melakukannya dengan bujukan yang memakan waktu cukup lama. Kugendong tubuh lemahnya berkeliling taman kecil di samping IGD, sambil kurayu-rayu.
"Cuma kayak digigit semut, cekiiiit... Habis itu nanti ditiup sama Tante, pasti udah nggak sakit lagi. Ana nggak kangen ya sama Kak Ara sama Kak Juni?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Sekelumit Rindu
ChickLitTentang Aisha Dianitha Pramono yang menyimpan sekelumit rindu kepada Dean Giriandra. Dian bukan ingin menjilat ludahnya sendiri, tapi dia juga tak bisa menahan gejolak rasa dari dalam dada. "Aku pernah baca novel. Katanya jodoh itu nggak jauh-jauh d...