Selama 50 tahun hidupku, aku belum pernah menemukan orang seperti Daniel. Ya, karena memang aku belum hidup sampai 50 tahun. Tapi anggaplah aku bersyukur tak perlu menunggu untuk bertemu dengannya sampai umurku setengah abad. Kalau bisa, aku ingin bertemu dengannya lebih cepat, ah, tapi ya sudahlah, yang penting sekarang kami sudah bertemu.
Harusnya aku berterimakasih pada salah satu seniorku, Pak Gultom paggilannya kalau kalian adalah murid SMAK *****. Kala itu beliau lah yang membawa Daniel ke sekolah kami. Tugas Daniel bukan sebagai guru memang, tapi kehadirannya cukup menyegarkan kantor guru yang sengau.
Bercanda.
Lebih tepatnya, menyegarkan pandanganku, bahkan dari saat pertama dia menginjakkan kaki di sekolah ini.
"Permisi, pak?" kataku saban hari ketika akan mengajar pada suatu kelas, namun mendapati di kelas mereka masih ada guru yang mengajar. Aku memang bukan tipe yang akrab dengan semua rekan kerjaku di sini, tapi aku yakin, guru yang ada dalam kelas ini tak pernah ku jumpai di mana pun di sudut sekolah. "Sudah jam saya." sambungku setelah ia menoleh.
"Ah maaf," katanya tersenyum tipis, lalu menatap para murid. "Saya rasa perkenalannya sampai di sini saja, pastikan kalian kalau berminat datang ke ruang guru, cari saya untuk ambil formulir. Kalau saya tidak ada, tanya saja pada Pak Gultom di mana meja saya, ambil formulirnya sendiri.-
-Eh? kalian semua tau Pak Gultom, kan?" tanyanya tak yakin.
"Tauuuu." koor anak-anak. Aku tersenyum kecil, siapa juga yang tidak tahu Pak Gultom di sekolah ini? guru senior yang mengampu pelajaran fisika, sopan dan sangat berwibawa jika di hadapan para murid. Tapi kalau kata anak-anak, beliau guru ter-killer di sekolah
"Ya sudah, saya akhiri pertemuan hari ini, selamat siang." Tutupnya lalu membawa buku jurnal dan absen keluar kelas. Ketika berpapasan, kami bertukar senyum.
Ah, manisnya.
"Pak Wiska!"
Aku terperanjat kaget ketika ada yang berteriak di depanku. "Opo Len? saya ini ndak budek, ndak perlu teriak-teriak." kataku mengusap telinga. "Ga budek dari mana? dari tadi saya panggil juga tidak nyahut kok." jawab Allen. Aku memutar mata.
"Ada apa?" tanyaku. Allen ini guru ppl, pahlawanku ketika sedang sibuk atau berhalangan mengajar, bahkan aku sampai harus membagi setengah kelasku dengannya, "Latihan Len, nanti kalau kamu seperti saya, jadinya tidak kaget.", kataku dulu.
Mengabdinya di sekolah ini sudah hampir 6 bulan kalau tidak salah, berarti sebentar lagi aku harus kembali memegang mata pelajaran sejarah untuk 10 kelas, dengan 48 jam mengajar seminggu. Aku meringis. "Begini pak, untuk tugas akhir saya di sini, bapak bersedia kan menjadi pengawas?"
Benar juga, aku mengangguk. "Kapan?" tanyaku. "Sekitar dua minggu lagi pak. Saya sudah kontak dosen saya, beliau bisa kalau 2 minggu lagi." jawab Allen semangat.
"Yo wis, ingatkan saya nanti jika waktunya sudah dekat." kataku beranjak dan menjenjeng tas kerja. Allen tersenyum dan hormat tiang bendera. "Siap pak."
Aku berjalan ke arah mesin absen. Sabtu, 23-03-202*, 15:47. Masih sempat 13 menit, pikirku. Lalu pergi keluar kantor, mendatangi lab bahasa. Hari ini lumayan panas, lab-lab biasanya menjadi pilihan para guru yang kepanasan untuk menongkrong. Selain karena tempat itu ber-ac, ada seseorang yang ingin ku temui di sini.
Ketika membuka pintu lab bahasa, kudapati Daniel sedang menatap komputer proktor dengan serius, kaca matanya yang bulat memantulkan cahanya layar, menambah kesan bersinar pada wajahnya yang sepersekian detik kemudian menatap ke arahku. "Oh, kak Wiska. Saya kira anak-anak udah pada ke sini." katanya melepas kaca mata bulat yang bertengger. Aku tersenyum. "Ngapain Niel?"
KAMU SEDANG MEMBACA
nasi goreng -(mostly) hyungkyun
FanfictionNasi goreng tuh isinya banyak, ada yang spesial ada yang pake sosis ada yang telur doang ada yang gaenak ada yang keasinan ada yang enak banget. Anggap aja work ini nasi goreng kiriman goj*k di tengah malam dikala lapar, kalian gatau ini nasi goreng...