2. Sarapan

5.2K 505 121
                                    

Pagi yang cerah menyelimuti rumah keluarga Retak'ka.

Remaja yang masih tertidur dalam kasur king size mulai membuka kelopak mata, manik ruby indahnya berkedip beberapa kali sebelum terbuka sempurna yang sebelumnya bersembunyi malu-malu.

Remaja berusia 17 tahun itu kini mendudukkan dirinya, matanya bergulir ke arah jam walker di atas meja kecil di samping kanan ranjangnya. "Jam 5." gumangnya lalu menghela nafas. Tangannya menyibak selimut yang membungkus dirinya lalu berjalan menuju kamar mandi yang terhubung pada kamarnya.

"Sudah 10 tahun tapi aku masih memimpikan masa itu," Halilintar memijat pelipisnya pelan. "Hari ini adalah hari ketigamu masuk kuliah, Hali! jangan buat Papa kecewa!" Monolognya di depan cermin sambil sesekali menepuk pipinya pelan.

Selang 30 menit telah berlalu. Halilintar Leonard. Remaja tampan dengan perawakan tubuh tinggi tegap sudah rapi dengan pakaiannya yang di dominasi dengan warna hitam dengan garis garis merah. Rambutnya tersisir rapi dengan bagian kiri yang sedikit acak dan wajah datar andalannya yang memberikan kesan dingin dan sedikit kesan panas di saat yang bersamaan.

Halilintar keluar dari kamarnya sembari membawa tasnya menuju dapur. Mata tajamnya melihat sang Mama yang tengah memasak dan pendengarannya mendengar suara besi aluminium saling bersahutan ketika semakin ia dekati wanita itu.

"Pagi, Ma" Sapa Halilintar. Tangannya meletakkan tas yang berisi kebutuhannya untuk kuliah di salah satu kursi.

"Pagi juga, Hali" Sapa Rusty balik disertai senyum lembut begitu ia menoleh ke belakang melihat putranya.

"Mama masak apa? Hali bantu boleh?" Tanya Halilintar, ia sudah berdiri di samping Rusty yang sambil melihat-lihat apa yang bisa ia bantu.

"Tidak usah, lebih baik kamu bangunkan adik-adikmu dan Papa pemalasmu itu."

"Siap!"

Rusty hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Halilintar. Mungkin jika bersama mereka perilakunya lebih hangat, tapi jika sudah dengan orang lain maka berbanding terbalik saat bersama keluarganya ini.

Hampir 15 menit Rusty menunggu anak sulungnya itu untuk membangunkan adik-adiknya dan Retak'ka. Sampai ia mendengar rengekan minta tolong dari lantai atas.

"Ma! Tolong!"

Rusty menengok ke atas tangga, tangannya menutup mulut mencoba menahan tawa kecil yang akan lolos dari sana.

"Seperti biasa ya, Hali." kata Rusty pelan menahan tawa. Wanita cantik yang tidak lagi berusia muda itu tersenyum kecil melihat Halilintar yang digelayuti tujuh adiknya dan tidak lupa Retak'ka yang menopang dagunya diatas kepala Halilintar.

Perempatan siku-siku imajiner menghiasi pelipis Halilintar. Kalau ia bukan anak yang baik pasti sudah ia lempar delapan orang yang menggelayutinya ini dari tangga. Tanpa sadar hawa dingin menguar dari tubuh Halilintar.

Merasakan adanya hawa yang tidak mengenakkan, delapan orang yang menggelayuti Halilintar mulai berlarian menuruni tangga menuju dapur, kecuali Rimba yang tetap kekeuh memeluk punggung Halilintar tanpa merasa terancam.

Halilintar membiarkan adik keenamnya itu masih dipunggungnya, dengan perlahan ia melangkah menuruni tangga menuju meja makan.

Halilintar mendudukkan Rimba di kursinya sebelum beranjak dari sana lalu memutari meja hanya untuk menjitak dahi ketujuh adiknya dengan penuh kasih sayang, tidak peduli mereka yang mengaduh kesakitan atas perbuatannya, malah ia tersenyum kecil melihat ekspresi mereka yang menurutnya lucu.

My Big BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang