"Gi, lo keren banget di konser amal kemarin. Gue nonton sekeluarga loh di rumah. Bokap juga ikut donasi buat korban bencana alam, walaupun nggak banyak sih. Hehe.... Pas lo tampil, kalkulasi dana yang masuk langsung... wush, banyaak banget!" Seseorang menghampiri Gia, Lisa, teman satu kampus Gia. Lisa suka memakai celana jeans dan jaket walaupun udara Jakarta lumayan panas di siang hari. Rambutnya sebahu dan suka diikat setengah bagian atas. Lisa senang menyapa siapa pun yang berpapasan dengannya.
Sebenarnya Gia tidak terlalu mengenal Lisa. Gia hanya ingat pernah satu kelas di semester lalu karena kebetulan mengambil mata kuliah yang sama. Sebagai penyanyi terkenal, tentu saja nama Gia dikenal hampir oleh semua penghuni kampus. Meski begitu, Gia pun selalu berusaha mengingat nama-nama orang yang pernah menyapanya. Salah satunya Lisa, cewek ramah, ceria, selalu tampak bahagia tanpa pura-pura. Senyum tanpa beban di bibir Lisa terkadang membuat Gia iri.
"Makasih banget udah nonton dan ikut donasi, senang banget aku dengarnya," ujar Gia sambil tersenyum hangat.
"Kapan-kapan main ke rumah gue ya, ortu gue suka banget sama lo. Gue suka cerita kalau di kampus ada artis, dan lo tuh anaknya nggak cuma berbakat tapi juga ramah banget," seru Lisa bersemangat.
"Boleh, boleh, dengan senang hati, kapan-kapan undang aku main, ya..." Gia memasang wajah antusias dan senyum lebar. Semakin hari kemampuan pura-pura bahagianya semakin meyakinkan.
Ponsel Gia berdering, "Sorry, aku angkat telepon dulu, ya, Lisa?" ucap Gia sopan.
Lisa tersenyum, "Sip, gue juga buru-buru mau ke dalam nih, masih ada kelas."
Gia mengangguk, kemudian Lisa yang hari berjaket jeans warna telur asin balik kanan berlari meninggalkan Gia.
"Ya, halo, Pak Anto ada apa?" Gia mengangkat telepon dari sopir pribadinya, Pak Anto, pria berusia 45 tahun yang tubuhnya masih tegap dan rambutnya masih hitam karena rajin diberi cat rambut.
"Halo Non Gia, maaf, Bapak ndak bisa jemput sekarang. Tadi mau ke kampus tiba-tiba harus antar Nyonya ke rumah sakit," suara Pak Anto terdengar panik dan buru-buru.
"Mama kenapa, Pak?" Gia ikut panik, walaupun sedikit banyak sudah bisa menebak alasannya.
"Anu Non... Nyonya berantem sama Tuan." Pak Anto setengah tergagap menyampaikan berita yang pasti tidak ingin didengar Gia.
Gia membuang napas panjang, benar kan dugaannya. Gia heran, usianya sudah 19 tahun dan orang tuanya masih belum bosan bertengkar. Entah apa lagi yang jadi bahan pertengkaran mereka hari ini sampai membuat Mama masuk rumah sakit.
"Non Gia, mau nunggu atau bagaimana? Nunggu di kafe atau restoran dekat kampus?" tanya Pak Anto dari seberang telepon.
"Pak Anto antar Mama ke rumah sakit saja, aku bisa naik taksi online. Takut kemalaman kalau nunggu, kan nggak tahu sampai jam berapa ya." Jawab Gia.
"Baik Non, hati-hati di jalan." Pak Anto kemudian mematikan sambungan teleponnya.
Gia pun membuka aplikasi taksi online dan memesan taksi. Sayangnya, sudah tiga kali kena pembatalan dari sopirnya. Ya wajar sih, sudah masuk jam pulang kantor, jalanan Jakarta pastinya macet banget sore hari begini. Bisa-bisa taksi online perlu waktu satu jam untuk putar balik dari jalan raya utama ke kampus untuk menjemput Gia. Belum lagi arah jalan ke rumah Gia juga langganan super macet. Mana ada yang mau jemput kalau begini?
Kalau aku pesan ojek online bakal kena marah Mama nggak, ya? Nggak apa-apa lah, Mama nggak bakal tahu. Lagi pula kalau nunggu dijemput taksi online aku bisa nggak pulang-pulang sampai malam. Pasti nggak ada yang mau macet begini, ucap Gia dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Harian Bahagia
RomanceBuku Harian Bahagia by Juwita Purnamasari Sinopsis: Nama gadis itu adalah Bahagia, tapi tidak pernah benar-benar tahu apa itu rasa bahagia. Menjadi penyanyi terkenal sejak kecil bukan cita-cita Gia, tapi keinginan orang tuanya. Hingga berusia 19 t...