Gia benar-benar gagal berkonsentrasi sepanjang jadwal les musiknya, pikirannya terus teringat ayam bakar dan Banyu. Maksudnya, teringat kalau Gia belum membayar seporsi ayam bakar yang dimakannya tadi malam kepada Banyu.
"Hari ini kamu kayaknya lagi kurag fit, ya?" tanya Mbak Shinta, salah satu pengajar di sekolah musik ini. Mbak Shinta menghampiri Gia setelah selesai berlatih dengan piano. "Nggak biasanya Gia banyak salah nada saat menyanyi."
"Maaf, Mbak..." sahut Gia pendek.
"Kalau lagi kurang sehat mending istirahat di rumah, jangan dipaksakan. Kamu cuma buang-buang energi berlatih musik tapi badan kamu lagi nggak sehat," Mbak Shinta menepuk lembut pundak Gia sambil tersenyum. "Sudah siang, ayo istirahat dan makan siang dulu, ya," sambung Mbak Shinta sambil bersiap meninggalkan ruangan.
"Iya, Mbak, maaf..." Gia menunduk menatap balok-balok pianonya.
Sepertinya ini pertama kalinya isi kepala Gia mulai tidak menurut dengan jadwal-jadwal kehidupan Gia yang selalu sama setiap pekan. Ada sesuatu lain yang menganggu pikirannya selain jadwal les musik, jadwal menyanyi, dan pelajaran kuliah. Suatu yang lain itu adalah... Banyu. Apa benar hanya karena seporsi ayam bakar merusak rutinitas yang selalu sama dalam pikiran Gia mulai hari ini?
Gia mengambil ponselnya mengetikan nama Lisa dalam kontak, Gia baru ingat bahwa Gia tidak pernah punya nomor ponsel Lisa. Selama 4 semester kuliah, Gia benar-benar hanya belajar saja di kampus dan tidak peduli dengan kehidupan sosial apalagi punya teman dekat yang nomornya tersimpan di kontak HP.
Memang banyak yang menyapanya ketika berada di kampus, tapi tidak ada satu pun mahasiswi di kampus yang benar-benar mau mendekat dan berteman dengan Gia. Sungkan. Mereka merasa dirinya dan Gia adalah dua level yang berbeda. Menyedihkan. Gia selalu tampak punya segalanya, tapi tak ada yang tahu bahwa selama ini Gia hanya hidup dengan dirinya sendiri.
Ponsel Gia berdering, telepon masuk dari Mama, "Jam 3 sore kamu ada siaran di radio. Lalu lanjut jam 7 ke kantor majalah untuk pemotretan. Alamatnya sudah Mama kasih ke Pak Anto."
"Iya." Jawab Gia.
Dan telepon terputus.
Gia berjalan ke luar kelas musik untuk sekadar menghirup udara segar. Gia duduk di teras halaman depan terlihat Mbak Shinta yang sedang hamil muda duduk bersama ibunya yang hampir setiap hari datang berkunjung ke sini. Siang ini Mbak Shinta duduk bersebelahan dengan ibunya, sambil sesekali disuapi semangkuk salad buah yang dibawakan ibunya. Hati Gia selalu terasa campur aduk setiap kali melihat pemandangan semacam ini. Hatinya iri, tapi Gia berusaha menyangkal perasaan buruk tersebut, semakin disangkal malah terasa semakin sesak.
Mama Gia hanya menelepon untuk mengingatkan jadwal, tanpa pernah ingin tahu apakah Gia sudah makan atau belum. Pertanyaan sederhana yang selalu ingin Gia dengar dari Mamanya sendiri. Sesuatu yang sederhana bagi orang lain, tapi nyaris mustahil untuk Gia.
Kenangan yang tersimpan di kepala Gia hanya Mama ingin Gia menjadi penyanyi terkenal melanjutkan mimpi sang Mama yang gagal terwujud di saat muda. Kadang Gia bertanya-tanya apa sebenarnya yang menjadi cita-citanya? Apakah Gia punya sesuatu yang ingin dilakukan dari hatinya sendiri? Selain tumpukan jadwal dan rutinitas yang disusun Mama, Gia tidak tahu harus melakukan apa dalam hidupnya. Gia tidak tahu, Gia tidak pernah punya waktu untuk memikirkan hal tersebut.
**
Pukul 22.15 Gia masih dalam perjalanan pulang bersama Pak Anto yang menyetel lagu India sepanjang perjalanan. Di luar kaca jendela terlihat hujan cukup deras, lampu merah di pertigaan jalan membuat macet semakin parah. Klakson kendaraan saling bersahutan seolah memberitahu seberapa gelisah para pengemudi yang segera ingin sampai di tujuan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Harian Bahagia
RomanceBuku Harian Bahagia by Juwita Purnamasari Sinopsis: Nama gadis itu adalah Bahagia, tapi tidak pernah benar-benar tahu apa itu rasa bahagia. Menjadi penyanyi terkenal sejak kecil bukan cita-cita Gia, tapi keinginan orang tuanya. Hingga berusia 19 t...