Gadis kecil berambut dikepang dua, matanya lurus menatap sebuah gaun mungil warna putih dengan payet kelap-kelip dan sayap mungil di bagian belakang gaun. Gadis kecil itu tersenyum membayangkan seandainya gaun itu dia kenakan di hari ulang tahunnya pekan depan pasti akan terasa menyenangkan.
Sambil memegang ujung pakaian ibunya dan menariknya dengan hati-hati, gadis kecil itu mengumpulkan keberaniannya di ujung jari mungil dan bibirnya. Tapi, rasanya sulit sekali kata-kata keluar dari bibir kecilnya tentang apa yang dia inginkan.
Sang Ibu sedang sibuk memilihkan gaun panjang warna marun dengan payet bunga mawar yang besar-besar, tampak mewah.
"Kamu suka ini, kan?" tanya si ibu gadis kecil dengan tatapan mata tajam yang seolah memerintah hanya boleh ada jawaban 'ya'. Gadis itu terdiam agak lama. Mencari cara supaya keberaniannya terkumpul dan bisa mengatakan bahwa dia lebih suka gaun putih bersayap yang digantung di bagian atas rak.
"Mama... Gia suka yang putih..." katanya dengan bibir agak gemetar, telunjuknya menunjuk ke atas.
Ibu gadis kecil mendengus sebal dan mengabaikan suara anaknya. Seolah tidak pernah mendengar sepotong kalimat yang tadi sudah si gadis kecil coba untuk katakan dengan seluruh keberanian yang dipunya.
"Mama..." kata gadis kecil itu masih berusaha sekali lagi.
Dengan wajah masam Ibu gadis kecil itu menarik ujung pakaiannya yang dipegang oleh sang anak. Lalu menghampiri meja kasir membawa gaun merah yang ada di tangannya. Jika memang tidak boleh memilih mengapa ditanyakan? Begitulah pertanyaan besar yang ada di kepala si gadis kecil sambil susah payah menahan air matanya agar tidak tumpah, sang ibu akan semakin marah padanya jika dia menangis.
Gadis kecil berkepang dua terdiam dan memendam apa yang menjadi keinginannya dalam hati. Gaun putih bersayap itu tidak pernah jadi miliknya, seingin apa pun dia memakainya di hari ulang tahunnya. Bahkan untuk menangis dan merasakan kesedihannya pun gadis kecil itu sangat takut.
Gia bangun dari tidurnya sambil mengatur napas yang terasa sesak. Mimpi-mimpi tentang masa kecilnya sering kali hadir dalam tidur dan membuatnya merasa benar-benar kembali ke masa-masa itu. Kenangan yang ingin dihapus dalam ingatannya.
Gia menepuk-nepuk dadanya sendiri mencoba meringankan rasa sesak, lalu mengambil segelas air yang ada di nakas samping tempat tidurnya. Setelah meneguk air dadanya terasa lebih ringan sedikit. Gia bisa bernapas agak lega ketika sadar itu hanya mimpi.
**
Jam perkuliahan Gia sudah selesai sejak satu jam lalu. Gia sudah janjian dengan Lisa jam tiga sore. Gia menunggu di kafe tempat Banyu bekerja. Sudah lewat lima belas menit dari jam janjian Lisa belum datang, tapi bagi Gia itu tidak apa-apa, jadi punya sedikit lebih banyak waktu untuk memandangi Banyu.
Gia duduk di meja favoritnya, di pojok kiri dekat meja bar. Dari situ bisa jelas memandangi Banyu. Banyu yang sadar Gia melihatnya, melempar senyum sebentar kepada Gia, Gia membalas senyum Banyu. Kemudian seorang pelanggan remaja perempuan mengajak Banyu mengobrol sambil menyiapkan minuman pesanannya. Pandangan Banyu sudah beralih tidak lagi menatap Gia.
Begitu saja dan hati Gia sudah merasa senang.
Gia tahu, Banyu sudah punya seseorang yang spesial. Ada rasa sakit yang Gia tidak terlalu paham kenapa terasa sekarang setiap memandang Banyu. Mata Gia tidak lepas dari Banyu si cowok gondrong yang sedang sibuk melayani pelanggan kafe. Beberapa gadis remaja tampak senang mengobrol dengan Banyu sambil menunggu pesanan minumannya selesai dibuat.
Banyu seperti cahaya yang bisa membuat sekitarnya ikut berwarna. Sedangkan Gia yang selalu memilih untuk menyembunyikan warnanya sendiri.
"DOR!" Seseorang menggagetkan Gia dengan menggebrak meja. Gia yang sedang melamun benar-benar kaget.

KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Harian Bahagia
RomansBuku Harian Bahagia by Juwita Purnamasari Sinopsis: Nama gadis itu adalah Bahagia, tapi tidak pernah benar-benar tahu apa itu rasa bahagia. Menjadi penyanyi terkenal sejak kecil bukan cita-cita Gia, tapi keinginan orang tuanya. Hingga berusia 19 t...