Bagian 2

46 8 0
                                        

Gia terududuk di sisi trotoar, tangan kirinya mengusap lembut kepala seekor kucing dan tangan kanannya menyuapi kucing tersebut dengan sepotong sosis. Kucing dewasa dengan luka basah di kakinya. Hati Gia terasa teriris membayangkan hewan lucu itu menahan sakit di kakinya dan berjuang untuk berjalan mencari makan entah sejak kapan.

Tin... tin...

"Gia? Gia, kan?"

Mendengar suaranya dipanggil, Gia menoleh. Seorang cewek duduk di motor matic warna biru laut. Ketika helmnya dibuka, Gia baru mengenali cewek itu adalah Lisa. Dari semua mahasiswi di kampus, Lisa salah satu dan mungkin satu-satunya yang cukup sering menyapa Gia jika berpapasan di kampus. Hari ini, pertama kalinya berpapasan di luar kampus. Di kampus mahasiswi lain tidak ada yang benar-benar mendekat kepada Gia, mungkin sungkan untuk menyapa duluan seorang artis. Ditambah Gia bukan tipe yang suka beramah tamah dan menyapa orang lain lebih dulu.

"Lisa?" seru Gia kaget. Gia tidak tahu bahwa ada mahasiswi lain yang tinggal dekat lingkungan rumahnya karena lokasinya agak jauh dari kampus.

Lisa turun dari motornya menghampiri Gia dan ikut berjongkok di sebelahnya, "ngapain sih? Serius banget. Tadi gue di seberang lihat kayak Gia deh, jadi gue samperin aja. Hehe.... Ngapain di pinggir jalan sore-sore begini?"

"Rumahku nggak jauh dari sini. Tadi lagi lewat aja, terus ketemu kucing ini." jelas Gia masih mengusap-usap kucing malang tersebut.

Setiap sore ketika tidak ada jadwal kuliah dan pekerjaan Gia memang biasa berjalan di sekitar kompleks perumahannya. Membawa beberapa potong sosis siap makan untuk diberikan kepada kucing liar yang ditemui di jalan. Hal yang bisa membuat Gia merasa sedikit lebih baik. Semacam obat antidepresi yang membuatnya bisa sejenak istirahat dari pura-pura bahagia pada dunia. Ketika melihat seekor kucing liar tampak lahap memakan sesuatu dari tangannya, hatinya terasa hangat. Gia tidak yakin, apa ini bagian dari rasa bahagia yang tanpa pura-pura?

"Mau lo bawa ke rumah? Kasihan sih kakinya luka, harus segera diobati." Ucap Lisa.

Gia mendesah sedih, "Aku nggak bisa bawa dia pulang karena beberapa alasan."

"Oh, orang tua lo alergi bulu hewan, ya? Sama dong kayak ayah gue." Kata Lisa sok tahu.

Gia mengangguk dengan berat hati mengiyakan perkiraan Lisa tentang orang tuanya yang alergi bulu hewan. Sebenarnya bukan alergi bulu hewan, tapi mereka tidak suka. Gia tidak mau kucing malang ini bernasib sama dengan Key.

Lama-lama demi menjaga nama baik keluarga, selain pura-pura bahagia juga Gia jadi harus terbiasa berbohong.

"Kita bawa ke shelter kucing aja, minta bantuan shelter kucing buat rawat kucing ini sampai sembuh. Kalau sudah sembuh semoga ada yang bisa adopsi dia. Gue ada kenalan yang punya shelter kucing, temannya nyokap. Gimana?" ucap Lisa memberi ide.

"Serius, ada tempat yang merawat kucing dengan suka rela?" Gia takjub.

Selama ini dunianya hanya seputar rumah, jadwal-jadwal les dan bekerja yang ibunya susun. Kuliah, les musik, menyanyi, dan tak jauh-jauh dari situ. Keluar rumah sendiri pun tidak pernah jauh-jauh.

"Ada, agak jauh dari sini sih, ya masih bisa ditempuh pakai motor sekitar setengah jam lebih deh. Gimana mau ke sana? Gue antar."

Tawaran dari Lisa membuat Gia merasa senang tapi masih ada rasa ragu. Gia merasa belum benar-benar mengenal Lisa, apa tidak apa-apa menerima bantuannya seperti ini?

"Loh, memangnya kamu nggak ada keperluan lain? Nanti merepotkan nggak? Aku minta alamatnya saja, aku ke sana naik taksi," ucap Gia pada Lisa.

Lisa menggeleng, "Hadeuh... naik taksi mahal. Udah hemat, sekalian gue antar. Nggak ada keperluan lain kok, tadi gue habis anter Nyokap ke acara pengajian gitu di sekitar sini. Paling nyokap gue minta jemput lagi nanti abis Magrib. Aman kok."

Buku Harian BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang