EPILOG

97 10 3
                                    

"Retno..." suara Papa bergetar ketika membuka sebuah pintu ruangan di salah satu rumah sakit jiwa di Yogyakarta tempat Mama di rawat selama ini. Pintu terbuka, menampakkan sebuah ruangan berdinding putih, seorang wanita yang rambutnya sudah memutih duduk di ranjang, menatap kosong ke arah dinding, Mama Gia.

Banyu menahan tangan Gia yang hendak ikut masuk, "Kita tunggu di sini saja, biarkan mereka punya waktu berdua," kata Banyu lembut.

Gia mengangguk.

Mama pagi ini mengenakan gaun warna hijau toska, seorang perawat membantunya merias wajah agar terlihat segar atas permintaan Gia untuk menyambut kedatangan Papa hari ini. Kemarin adalah hari pembebasan Papa dari tahanan setelah 13 tahun menjalani hukuman. Gia dan Banyu segera mengajak Papa ke Yogyakarta mengunjungi Mama di Rumah Sakit Jiwa. Sementara Papa ikut tinggal di rumah Banyu dan Gia di Yogyakarta yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Rumah Sakit Jiwa ini.

Wajah Mama yang hampir tidak pernah menunjukkan ekspresi, hari ini berbeda. Selain karena riasan wajah natural yang membuatnya terlihat lebih cerah, juga binar matanya tampak lebih bercahaya. Mama menoleh dan memperhatikan Papa dalam-dalam. Pelan-pelan sebuah senyum kecil mulai muncul di bibir dan matanya.

"Pras...?" ucap Mama dengan suara lembut.

Mata Gia membulat, selama ini bahkan Mama tidak pernah mengenali Gia dan Mbak Tini setiap kali menjenguk. Ajaib, hari ini Mama bisa mengenali Papa walaupun ingatannya sepertinya kembali ke masa muda mereka.

"Kamu telat lagi menjemputku, Pras? Kita mau nonton bioskop kan hari ini? Apa orang tuaku melarangmu masuk ke rumah lagi?" kata Mama.

"Ya, maaf aku datangnya terlambat sekali," ucap Papa tak kuasa menahan air matanya, "Maafkan aku Retno..." Papa memeluk Mama erat-erat. Mama membalas pelukan Papa sambil menepuk pundak Papa menenangkannya.

"Mengapa kamu menangis, Pras? Apa kamu sakit?" tanya Mama.

Papa menggeleng dan menghapus air matanya.

Gia tak kuasa menahan air matanya runtuh. Banyu merangkul Gia, menenangngkan.

"Kita biarkan mereka berdua, ya, Sayang?" kata Banyu berbisik di telinga Gia, Gia mengangguk.

Gia dan Banyu menutup pintu ruangan tersebut pelan-pelan dan meninggalkan Papa dan Mama berdua di dalam sana. Mengurai satu per satu benang rindu yang telah lama kusut.

Di halaman depan rumah sakit, Mbak Tini sedang bermain dengan seorang anak perempuan berpipi gembil dengan rambut diikat dua, usianya dua tahun dan sedang senang berlarian walaupun masih sesekali terjatuh.

Mbak Tini, Pak Anto dan Pak Amin sudah dipensiunkan dan dibelikan rumah masing-masing. Pak Anto dan Pak Amin memilih tetap di Jakarta. Sementara Mbak Tini memilih rumah di Yogyakarta, masih sering menginap di rumah Gia dan Banyu untuk membantu menjaga Nara. Mbak Shanti sudah menikah dan tinggal dengan suaminya di Jakarta, tetap masih menjadi orang kepercayaan Gia untuk mengurus bisnis keluarga. Setelah berdiskusi dengan Papa, rumah lama di Jakarta akan dijual, sebagian uangnya ingin Papa gunakan untuk membeli rumah masa tuanya yang juga dekat dengan Rumah Sakit Jiwa agar Papa bisa sering mengunjungi Mama.

"Nara," Banyu memanggil nama gadis kecil itu.

"Papa... Mama..." ucap gadis kecil itu dengan suara gembira dan memeluk kaki Banyu erat-erat, "Kakek mana? Nara mau main sama Kakek lagi seperti tadi malam."

"Kakek sedang bertemu Nenek di dalam. Kita tunggu Kakek di sini, besok Nara bisa main dengan Kakek, ya," kata Gia mengusap lembut puncak kepala Nara.

Gadis kecil itu mengangguk semangat, "Nara juga pengin main dengan Nenek."

"Boleh, nanti... semoga nanti ada waktu di mana Nara bisa bermain juga dengan Nenek," ucap Gia dengan harapan yang kuat. Melihat respon baik Mama ketika bertemu Papa, harapan yang sudah Gia kubur lama-lama sejak Mama masuk ke rumah sakit jiwa ini perlahan muncul lagi ke permukaan hatinya. Gia masih ingin berharap sekali, Mama bisa perlahan membaik dan setidaknya bisa kembali mengingat dirinya.


** tamat **


Terima kasih untuk yang sudah membaca ini. Semoga kita sama-sama bisa menemukan "bahagia" yang sebenarnya dalam diri masing-masing dan bisa berbagi energi bahagia untuk semesta. Semangat bahagia! :)

-juwita purnamasari.

Buku Harian BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang