Bagian 6

37 6 0
                                        

Gia duduk di depan cermin sambil melepas sheet mask lalu menepuk-nepuk wajahnya. Secarik sobekan kertas tergeletak di meja riasnya, nomor HP Banyu. Gia mengambilnya dan tanpa sadar bibirnya melengkungkan senyum yang Gia sendiri tidak paham sebabnya. Nomor Banyu sudah disimpan dalam ponsel Gia, tapi Gia tidak ingin membuang kertas yang ada tulisan tangan Banyu.

"Hari Sabtu berarti tiga hari lagi," gumam Gia.

Sudah lama rasanya Gia tidak menunggu-nunggu datangnya sebuah hari. Kadang di hari bebasnya yaitu Sabtu, Gia justru bingung mau melakukan apa karena tidak ada jadwal apa pun. Paling cuma jalan-jalan sore di sekitar kompleks perumahan menemui kucing-kucing di jalan sambil memberi makan mereka, lalu pulang dan tidur siang, kadang baca komik sampai malam. Membosankan.

Sabtu pekan lalu terasa berbeda karena bisa main ke Rumah Kucing Kasih Hati bersama Lisa, bertemu Tante Bel dan Banyu. Salah satu Sabtu yang paling menyenangkan dalam hidupnya.

Sabtu ini juga akan jadi Sabtu yang menyenangkan lagi, semoga, doa Gia dalam hati.

Doa yang sangat sederhana.

Pintu kamar Gia diketuk, "Mbak Tini, masuk aja."

Pintu terbuka, Gia menoleh. Bukan Mbak Tini yang di depan pintu kamarnya tapi sosok lelaki berjas hitam dengan rambut setengah memutih berdiri di sana. Mata lelaki itu berwarna kecokelatan mirip dengan mata Gia, ia adalah Pak Prasaji, Papa Gia. Papa tersenyum kepada Gia. Gia membuang napas pelan, senyum lelaki itu tampak menakutkan untuknya, membuat dirinya tidak punya keberanian sekadar membalas senyum tersebut.

"Ada apa?" tanya Gia segera memutar pandangannya kembali menatap cermin.

"Mama kamu tidak bilang apa-apa tentang jadwal hari ini?" ucap Papa tanpa melangkah masuk ke kamar Gia, sebab tahu Gia tidak akan suka.

Gia menggeleng, "aku sudah mau tidur."

Terdengar decakan kecewa dari mulut papa, "Papa tunggu di bawah lima belas menit. Kita harus ke Hotel Sky Light ada pertemuan bisnis."

Kata-kata Papa bukan pertanyaan tapi perintah. Tanpa menunggu jawaban Gia yang setuju atau tidak pintu kamar Gia sudah ditutup dengan suara keras. Gia menghela dan membuang napas beberapa kali menenangkan pikirannya yang merasa tidak nyaman. Seandainya bisa menolak pasti Gia bisa merasa lebih baik. Tapi, bagi Gia suaranya sendiri tidak pernah diperlukan di rumah ini.

Setengah menit kemudian, Gia bergerak ke arah lemari mengambil gaun selutut berwarna hitam dengan renda di bagian leher, mengenakannya dan mulai merias wajahnya buru-buru.

"Kamu sengaja tidak bilang ke Gia kalau malam ini harus menemaniku ke..."

"Aku sudah siap," Gia meninggikan suaranya, memotong suara papa yang sedang berdiri di hadapan Mama sambil berkacak pinggang. Mama diam saja mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

Papa lebih dulu meninggalkan ruang tengah menuju pintu depan. Mobil hitam jenis premium MPV telah terparkir di depan rumah, seorang sopir membukakan pintu untuk Papa di bagian depan samping sopir dan pintu tengah untuk Gia.

"Hai, Gia, apa kabar?" Gia mematung sepersekian detik ketika pintu tengah mobil digeser dan seorang wanita yang usianya 20 tahun lebih muda dari Papa duduk anggun di sana, Tante Herra, istri kedua papa.

Gia tidak menjawab sapaannya.

**

Jam menunjukan pukul 22.12. Gia terus menguap di dalam mobil mati-matian menahan dirinya supaya tidak tertidur. Salah satu hotel bintang 5 dengan gedung pencakar langit yang megah di tengah kota Jakarta.

Papa Gia turun dari mobil, berjalan bersebelahan dengan Tante Herra, Gia mengikuti di sebelah kiri papa. Memasuki lobi hotel, langsung disambut beberapa wartawan yang sepertinya sudah menunggu sejak tadi.

Buku Harian BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang