Bagian 7

23 6 0
                                    

Sudah jam sebelas malam, Gia berbaring di kamarnya matanya menatap ke langit-langit kamar. Beberapa menit sekali Gia melihat ke arah ponselnya. Setiap ponselnya berdering Gia dengan bersemangat melihat notifikasi, lalu kembali cemberut karena bukan sesuatu yang Gia tunggu.

Sudah malam gini belum ada telepon atau minimal chat dari Banyu. Apa Banyu nggak sadar jaketnya ketinggalan di aku? Mungkin dia punya jaket ojol lebih dari satu jadi nggak peduli kalau hilang? Tapi, tetap aja kan harusnya Banyu menghubungiku sekadar bertanya tentang jaketnya. Hm... apa harusnya aku yang menghubungi Banyu dan bilang kalau jaketnya nggak sengaja terbawa olehku? Masa harus aku lagi yang menghubungi dia duluan? Kemarin kan aku sudah menelepon duluan. Sekarang harusnya giliran Banyu dong. Mungkin dia sibuk sampai nggak ingat tentang jaketnya... Hati Gia sibuk mengoceh sambil bayangan tentang Banyu tidak mau hilang dari pikirannya.

Jaket hijau yang sudah dicuci bersih dan digantung di dinding kamar Gia terus dipandangi berkali-kali sejak tadi.

Tanpa sadar Gia tertidur sambil tangan kanannya masih menggenggam handphone. Berharap tiba-tiba ada pesan atau panggilan masuk dari Banyu, sosok yang Gia tunggu-tunggu.

**

Sudah sejak dua hari lalu jaket ojol tergantung di kamar Gia, si pemilik jaket tersebut sepertinya tidak merasa kehilangan sedikit pun.

"Kenapa aku sebal sih gara-gara pemilik kamu nggak nyariin kamu!" Gia berdiri tepat di hadapan jaket yang tengah tergantung itu, bicara sendiri sambil cemberut seolah sedang mengomeli si jaket.

Gia menyerah dan malam ini memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat pada Banyu lebih dulu. Lagi pula, selain jaket Gia punya alasan lain, yaitu besok adalah hari Sabtu. Gia dan Banyu sudah berjanji akan ke Rumah Kucing Kasih Hati bersama, untuk melihat keadaan kucing yang Gia recue dari jalanan sekitar sepekan lalu.

To Banyu: Banyu, besok jadi ke shalter jam berapa?

Pesan terkirim namun belum terbaca. Gia menunggu sambil gelisah. Sepuluh menit... setengah jam... satu jam... dua jam... tiga jam... masih belum ada balasan pesan dari Banyu. Jangankan balasan pesan, tanda pesan sudah terbaca pun belum terlihat. Gia menghela napas sambil membanting pelan tubuhnya ke atas kasur.

Sudah hampir tengah malam, sepertinya Banyu nggak akan membalas pesanku. Apa segitu sibuknya sampai nggak sempat baca pesan? Bukannya driver ojol harusnya sering lihat HP ya? Banyu kenapa sih? Jangan-jangan aku ganggu. Harusnya aku nggak kirim pesan duluan ke dia. Ah, Gia, malu-maluin aja. Gengsi banget nggak sih sebagai cewek sudah kirim chat duluan nggak dibaca!

Pagi hari, pukul 8 pagi, Gia sarapan dengan mama dan papa. Selesai sarapan menyempatkan mengambil foto keluarga yang pura-pura harmonis dibantu oleh Mbak Tini. Foto tersebut untuk diunggah di sosial media milik Bu Retno, Mama Gia. Sosok ibu yang selalu tampak cantik dan sayang keluarga, tapi image itu hanya sesuatu yang sebenarnya tidak benar-benar ada.

Selesai sarapan bersama dan mengambil foto pura-pura bahagia, papa pergi bahkan tanpa pamit sama sekali. Ironi. Tidak ada pelukan apalagi kecupan hangat antar anggota keluarga. Kenyataan yang sangat jungkir balik dengan keindahan di sosial media milik mama Gia yang selalu menampakan keluarganya adalah yang paling bahagia di dunia.

Gia sendiri tidak pernah ada keinginan sama sekali mengunggah foto keluarga, kecuali jika mama atau papa memaksa. Gia lebih sering mengunggah tentang pekerjaannya dan menyembunyikan rapat-rapat tentang kehidupan pribadinya, kehidupan pribadi yang sesungguhnya sangat menyedihkan.

"Aku ke kamar ya, ada tugas kuliah," ucap Gia sambil lalu, meninggalkan mama Gia yang masih di meja makan.

Gia melihat sekali lagi room chat dengan Banyu. Pesannya sudah mendapat tanda centang biru berarti sudah terbaca oleh Banyu. Namun sayangnya, belum ada balasan apa-apa di sana. Gia melepas napas sebal.

Buku Harian BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang