3. Lahirnya Si Pem-bully

571 90 15
                                    

Matahari perlahan menampakkan sinarnya dari ufuk Timur. Sejak tadi malam, Mella atau Carlin, tidak bisa tidur. Matanya terus terbuka, pikirannya terbayang sebuah adegan di mana Carlin di komik terbunuh oleh pembunuh bayaran. Ini pertanda buruk, dua hari lagi adegan itu akan terjadi sesuai tanggal.


"Sialan, sekarang apa yang harus aku lakukan? Otakku tidak bisa bekerja karena terbayang adegan itu."

Carlin kini duduk di bibir ranjang, menggigit ujung kuku jempol dengan gelisah. Malam tadi dia mengatakan sangat mudah, namun nyatanya sekarang dia sangat gelisah. Tak tau harus mulai dari mana.

'Coba pikir Mella, apa yang biasanya Carlin asli sering lakukan sampai membuat keluarganya bertambah benci. Ingat-ingat Mella! Ingat-ingat! AYOLAH OTAK BEKERJALAH KALI INI!'

Selang beberapa menit, akhirnya dia menyerah. Tak menemukan apa yang dicarinya, otaknya terlalu sibuk memikirkan nasibnya dua hari ke depan. Seperti berputar, kepalanya sangat pusing. Seumur hidup belum pernah dia berpikir keras seperti ini. Otaknya menjadi panas.

Dulu, sebelum masuk ke dalam tubuh Carlin, semua keperluannya diurus oleh kepala pelayan rumahnya. Mulai dari seragam, keperluan sekolah, rumah, mobil, bahkan PR yang harus dikerjakan oleh Mella malah dikerjakan olehnya. Bukan malas, tapi Mella lebih suka melakukan hal yang disukai, bukan dipaksakan. Dan lagi, disaat ujian berlangsung dengan pengawasan seketat apa pun, dia berhasil lulus dengan bermodalkan contekan yang ditulis rapi menggunakan bahasa Rusia oleh kepala pelayan. Sebenarnya Mella itu pintar, hanya saja otaknya tidak pernah dipakai belajar, maka jadilah otaknya berdebu dan usang.

'Seharusnya sebelum ke sini, aku belajar dulu minimal satu bulan. Kalau begini otakku yang malang ini kesulitan berpikir. Semua yang aku inginkan selalu dipenuhi, kecuali barang yang sangat berharga. Kini aku sedikit menyesalinya, otakku yang malang.'

Tok-tok-tok!

"Nona, apa anda sudah bangun?! Sebentar lagi waktu untuk sarapan tiba! Jangan sampai terlambat!"

Di tengah-tengah fokusnya, sebuah suara yang menurut Carlin mejengkelkan dan tak asing terdengar. Namun dia abaikan, tak ada untungnya menjawab. Dia kembali fokus memikirkan apa yang sering dilakukan atau dialami oleh Carlin asli.

Dan sekali lagi ketukan pintu kembali muncul, kali ini sangat keras dengan suara seorang wanita yang meneriaki agar dirinya segera bangun.

Menyebalkan, ingin rasanya Carlin menyumbat mulut itu dengan air selokan.

Sekali lagi dia hiraukan, hingga beberapa detik setelahnya suara dobrakkan pintu berhasil membuat amarah Carlin berkobar. "Nona! Kenapa anda tidak menjawab perkataan saya?! Seharusnya anda tidak melakukan hal tak sopan itu! Lalu apa ini? Anda sudah duduk di kursi namun tak menjawab ucapan saya?! Betapa tidak sopannya!"

Duar!

Amarah Carlin meledak-ledak, wajahnya panas. Dia berdiri dari duduknya, melangkah maju ke depan pelayan itu, menyisahkan beberapa meter. Mella tertunduk dan menenggelamkan wajahnya, sepertinya dia tau harus berbuat apa.

'Waktu sarapan masih tinggal beberapa menit lagi, 'kan? Tidak menjadi masalah jika aku memberinya hukuman. Hahahah!' batin pelayan itu. Ia menutup pintu lantas berjalan maju ke arah Carlin, memutarinya sambil berceloteh.

"Kalau anda seperti ini terus, tunangan anda akan mencampakkan anda. Nona tidak maukan hal itu terjadi? Bersikaplah baik mulai hari ini. Saya harus menghukum anda demi kebaikan anda sendiri." Pelayan itu mengeluarkan rotan yang diselipkan dari balik seragamnya, menyeringai puas. Sebentar lagi ia akan melakukan hal menyenangkan dan tidak akan pernah bisa dilakukan selain di sini.

I Am (Not) AntagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang