Selamat membaca 🍀
"Udahlah, lo liat terus juga tetep bola basket," sewot Meira, jenuh melihat Ayra yang terus-menerus memantulkan bola basket di tangan. Meira bukan hanya sahabat Ayra, tapi juga adik dari Rafa, kakak yang selama ini menjadi pusat perhatian Ayra.
"Kemarin gue denger, kak Rafa mau nonton film. Iya, sama si kunyuk kesayangannya," Meira melanjutkan, nada suaranya berubah sinis di akhir kalimat.
Kunyuk-sebutan Meira untuk Gita, pacar kakaknya-terasa sangat menyebalkan bagi Meira. Ia tahu persis bahwa Ayra menyukai Rafa, dan itu membuatnya lebih sering memberitahu jadwal kencan kakaknya. Sementara itu, Meira sebenarnya lebih suka Ayra daripada Gita, meskipun tak pernah diungkapkan secara langsung.
Ayra berhenti men-dribble bola basketnya, menatap Meira yang sibuk mengerjakan tugas. "Kapan? Kok Rafa nggak bilang?"
"Giliran gini aja lo semangat," jawab Meira, sambil mencoba menggoda.
"Masa sih? Serius Ra, kapan?" Tangan Ayra tanpa sadar menghalangi buku tugas Meira agar tidak bisa melanjutkan tulisannya. Ia mulai merasa cemas, entah kenapa, semua ini terasa lebih penting daripada sekadar tugas sekolah.
"Santai lah, katanya sih lusa. Soal film, coba lo cari sendiri. Gue nggak tahu," jawab Meira sambil menghela napas, tampak sedikit bosan.
"Santai," kata itu terngiang-ngiang di kepala Ayra. Kata yang seperti sebuah ironi. Tidak ada yang bisa ia santai kan, terutama soal Rafa. Semakin lama, komunikasi dengan Rafa semakin jarang. Ke mana perginya semua perhatian yang dulu selalu ia dapat?
Ayra menundukkan kepala, menumpuk tangannya di atas meja dan hanya menggeleng. "Gue kehabisan akal, Ra. Harus berhasil kali ini."
"Santai aja," kata Meira lagi, menyemangati. "Ok, soal kak Rafa selesai. Sekarang bantu gue, matematika nih!" Meira langsung beralih ke buku tugasnya.
Ayra baru teringat jika ia juga punya tugas matematika yang belum selesai. "Gue udah, mungkin." Meira segera meraih buku tugas Ayra dari tasnya, memastikan kalau Ayra sudah menyelesaikannya.
"Jangan lupa, tugas gue kumpulin ya. Gue mau kelapangan dulu." Ayra beranjak dari kursinya, kebiasaannya yang selalu ingin berada di luar kelas. Suasana kelas sering kali terasa menyesakkan.
"Habis ini masuk woi!" Meira menyarankan dengan nada yang sedikit melucu.
"Atur aja lah," jawab Ayra dengan santai, masih men-dribble bola basketnya saat melangkah keluar dari kelas.
Suasana kantin yang biasanya penuh dengan suara obrolan, kini terasa lebih sepi. Hanya beberapa siswa yang masih berada di dalam, kebanyakan yang bandel dan malas kembali ke kelas. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh waktu yang seharusnya digunakan untuk kembali ke kelas.
Namun, geng satu ini memang selalu memiliki cara untuk melawan rutinitas. Di meja yang agak tersembunyi, terlihat ada Evan, Aldo, dan Andra. Mereka tengah menunggu kedatangan Bima, yang entah kenapa, hari ini telat. Seperti biasa.
"Tahu gitu, gue tolak aja bekal dari bunda buat Bima," keluh Andra, sambil menggeser kotak bekalnya dengan kesal. Seperti biasa, ibunya memaksanya membawa bekal, padahal sudah tahu dia lebih suka makan di kantin.
"Ngomel aja lo dari tadi, mana Bima datang hari ini? Udah jam segini, lo malah sibuk sama bekel lo," sindir Evan sambil mengambil kotak bekal Andra. "Udah ganti aja tujuan bekalnya ke gue."
"Aelah, bahasa lo belibet banget. Gue mau," jawab Aldo dengan nada santai, tersenyum kocak.
"Iya, sini, sama Dede, sepiring berdua," Evan menambahkan sambil tersenyum nakal.
"Najis, jangan mau do," sergah Bima yang tiba-tiba muncul di depan mereka, membuat ketiganya terkejut.
"Allahuakbar, Subhanallah, Alhamdulillah. Akhirnya datang juga hari ini. Kalau nggak, mau cari contekan kemana lagi, Pak Lukman galak banget," kata evan.
"Gue sempet heran, Bim. Lo punya kantong ajaib kayak Doraemon, bisa masuk sekolah, padahal penjagaan ketat di luar," celetuk Evan, sambil melirik Bima yang tampak santai.
"Diem nggak?" Bima mengebrak meja, membuat ketiganya langsung diam. "Belajar jangan disini, di kelas," katanya dengan tegas.
"Oh ya, Van. Gue libur dulu ujian matematika, capek banget," ucap Bima santai.
"Jangan dulu lah, gila. Gue udah ngikut lo dari semester kemarin nggak ujian. Nilai gue mau ketolong dari mana, kalau harian aja jelek?" keluh Evan, terlihat cemas dengan nilai-nilainya.
"Ck, udahlah, itu nggak penting. Yang penting, I see you." Tatapan Bima tiba-tiba tertuju pada seseorang yang baru saja memasuki kantin. Semua pun ikut memandang ke arah yang sama.
"Ayra?" tanya Andra, bingung.
"Ayra Kamalia," Bima mengoreksi sambil mengerutkan dahi, matanya tetap terfokus pada Ayra yang sedang berjalan ke arah meja Mega dan Novi.
"Dia beneran Rara?" Andra bertanya lebih jauh.
Bima menatap Ayra, masih yakin dengan penilaiannya. "Gue yakin, dia itu Rara. Baru kali ini tim basket perempuan masuk final. Jadi, dia yang gue cari selama ini."
"Nggak perlu jelasin panjang lebar, intinya dia itu Rara," Andra kembali fokus pada bukunya, meskipun perhatiannya seolah teralihkan ke percakapan ini.
Di sisi lain, Ayra baru saja memasuki kantin dan melihat Mega serta Novi sedang duduk di meja mereka. Dengan langkah santai, ia melangkah mendekat.
"Lihat, Bima, tiap hari makin ganteng aja. Sial," ujar Mega, dengan suara yang cukup keras, membuat Ayra sempat mendengar.
"Gue baru tahu ada pelajaran gibah di kantin," jawab Ayra dengan tawa kecil, sebelum duduk di meja mereka.
Ayra langsung mengambil makanan dan minuman milik Mega, membuat Mega berdecak kesal. "Ck, lo baru datang udah ngrampok aja. Balikin nggak?"
"Beli lagi lah, jangan kayak orang susah," jawab Ayra santai, membuat Novi tertawa terbahak.
"Lo sendiri ngapain kesini? Gabut lo?" tanya Novi sambil tersenyum nakal.
"Tadi gue kelapangan, ternyata kalian disini," jawab Ayra, tetap santai meski sedang menikmati makanannya.
"Tadinya emang kita di sana, tapi karena ada Andra di sini, kita pindah ke sini," ujar Novi pelan, menyebut nama Andra dengan nada sedikit berubah.
Ayra menatap Novi dengan tatapan bingung, tidak mengerti maksud di balik kalimat itu. Mega yang sedang berbicara dengan Novi, tiba-tiba berkata, "Lihat, gue goda Andra, Vi." Mereka berdua memang sedang berjudi-siapa yang bisa menarik perhatian Andra dan Bima.
"Itu bagian gue, njir. Lo kan Bima," sahut Novi, seakan sudah punya jatah sendiri.
Mega tidak peduli dengan kata-kata Novi. Ia langsung beranjak dari kursinya dan berjalan menuju meja Andra. Ayra hanya diam, memperhatikan dengan tatapan yang lebih tajam, memastikan semuanya terjadi tepat seperti yang ia duga.
"Nyali Mega emang nggak diragukan lagi, tapi Andra itu jatah gue," gerutu Novi, sesekali menatap meja Andra dengan tatapan tajam.
Ayra terus menyaksikan Mega yang menggoda Andra dengan caranya yang khas. Andra sepertinya merespons dengan cara yang halus, meskipun tidak ada kata-kata yang terdengar. Namun, justru Bima, yang tiba-tiba muncul di dalam pandangannya, mengubah suasana.
Tatapan tajam dari Bima menggetarkan hati Ayra Dia mencoba menahan degup jantungnya yang semakin cepat. Mata mereka saling bertemu, dan Bima seperti sengaja menatapnya dengan penuh arti.
"Gue duluan ya," kata Ayra, berusaha menenangkan diri dan segera beranjak dari kursinya.
"Emang ya, kalo udah kenyang, enaknya ngilang," sindir Novi sambil melihat ke arah Ayra yang sudah mulai berjalan pergi.
Ayra hanya meringis dan melangkah, perlahan, menuju lapangan basket. "Ntar lah main di lapangan, sukses selalu buat kalian," ujarnya, sambil menunjuk ke arah meja Andra dan Mega dengan dagunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir
Fiksi PenggemarDiam-diam, Bima Sevanxa menyaksikan pertandingan bola basket tim putri. Ia ingin memastikan, apakah benar bahwa Ayra Kamilia, sang ketua tim basket, adalah gadis yang dulu sangat ia sayangi? Waktu, perlahan, akan memberikan jawabannya. Dengan berbag...