Bab 18: Hukuman

166 48 2
                                    

Sudah hampir seminggu aku rajin berkunjung ke apartemen Jaehyun karena merasa bertanggung jawab atas kondisinya saat ini. Dua hari pertama setelah mendapat luka akibat perkelahian itu, Jaehyun memutuskan tidak masuk sekolah. Dan tadi, ia memaksakan diri untuk datang ke sekolah meskipun kakinya masih sakit dan sulit dibuat berjalan.

Selama lima hari ini, aku tidak mendapati ada siapapun yang tinggal bersama Jaehyun. Ia benar-benar sendirian. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan di benakku. Ke mana orang tuanya? Aku yakin, orang tua Jaehyun pastilah orang berada. Tidak mungkin anak seusia Jaehyun dibiarkan tinggal di apartemen mewah seperti ini kalau mereka tidak punya uang.

Ah, kalau dipikir-pikir. Aku tak pernah menanyakan latar belakangnya. Mengenai orang tuanya, sepupunya itu ... apakah mereka semua tinggal di Seoul?

Aku menghangatkan makanan yang kubawa dari rumah. Sup dengan isian tofu dan potongan sayuran ditambah saus pedas itu adalah buatan Kak Jin. Dengan bantuanku tentunya. Aroma hangat dan lezat menguar memenuhi ruangan. Membuat atensi Jaehyun, yang sedari tadi termenung di sofa, terusik.

"Apa kau selalu makan masakan rumahan?"

Jaehyun mengajakku bicara dari jarak yang tidak terlalu jauh. Ia menyandarkan punggung dan kepalanya pada sofa. Tampak letih.

"Iya. Kakakku pandai memasak, aku hanya sedikit membantunya."

"Enak sekali, ya."

Suasana pun hening. Setelah hangat, sundubu jjigae tersebut segera kutuang ke dalam mangkok. Kusajikan bersama nasi instan yang sebelumnya sudah kumasak di rumah. Jaehyun kembali bersemangat. Ia menegakkan duduknya dan bersiap hendak menyantap makanan yang kubawa ke ruang tengah.

"Baunya enak sekali," komentarnya. Hidungnya mengendus kepulan asap yang muncul dari mangkok.

Jaehyun tampak lahap menyantap makan siangnya. Di situ pula, aku mulai membuka percakapan agar suasana lebih cair.

"Kau sendiri bagaimana? Kau tidak tinggal bersama keluargamu?"

Tanpa menghentikan aktivitasnya menyendok kuah sup, Jaehyun menjawab pertanyaanku. "Mereka di luar kota. Menjalankan bisnisnya."

"Orang tuamu?"

Jaehyun seolah tak terganggu oleh pertanyaan-pertanyaan yang aku ajukan. Ia menanggapinya santai.

"Iya. Aku tidak punya saudara lain. Anak tunggal." Ia mengangkat mangkoknya setinggi dada, lalu menyeruput kuah sup langsung dari sana. "Wah, tofunya lembut sekali. Kuahnya juga sedap."

Aku menarik kedua sudut bibirku. Ia seolah tak makan dua minggu. Dalam sepuluh menit, sup yang terisi penuh di mangkok itu habis beserta nasinya.

"Ada yang mau kau tanyakan lagi?"

"Eh, itu ... sepupumu? Kau bilang, kau punya sepupu."

"Oh, yang membuatmu hari itu cemburu, ya?"

Terserah kau. Jaehyun tertawa setelah melihat respons wajahku. Aku cemberut. Bagaimana tidak? Hampir setiap detik aku harus mendengar kenarsisan dari bibirnya. Astaga, apa ia tak bisa diajak serius sedikit saja?

"Minjeong tinggal di Gangnam bersama Paman dan Bibi."

"Kenapa nggak tinggal bareng mereka saja? Kan mudah, kalau kau sakit ada yang merawatmu."

"Kalau aku maunya dirawat olehmu, gimana?"

"Jae! Aku serius. Apa kau tidak berpikir kalau kau kesepian di sini?"

"Haha, iya, iya. Maaf. Aku akan jawab dengan jujur. Aku cuma ingin hidup mandiri saja tanpa bergantung pada orang lain. Lagian, kau tahu kan susahnya hidup sama orang yang lebih tua?"

WISH LIST ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang