Nathan menghempaskan tasnya asal. Menghela nafas lelah. Ia menenggak air putih hingga tandas. Ia merasa hampa, kehidupan yang ditawarkan oleh kedua orangtuanya tak lagi membuatnya bahagia. Ia butuh warna, ia butuh seseorang yang akan menghiasi hari-harinya. Kini ia tau mengapa para teman-temannya itu begitu gigih mengejar cinta. Karena cinta bisa membuat warna dalam kehidupan seseorang.
Cinta. Sampai saat ini ia belum pernah merasakannya. Banyak gadis yang mengejarnya, namun tak ada satupun di antara mereka yang menarik. Bukan tentang fisik, tapi soal hatinya yang enggan menerimanya.
"Nak, Bunda boleh masuk?" Suara dari bundanya membuyarkan lamunannya.
"Masuk aja, Bun," jawab Nathan.
Pintu pun terbuka. Seorang wanita paruh baya sedang berdiri di ambang pintu sembari membawa nampan. Nita---bundanya berjalan menghampirinya. "Makan siang dulu," titah Nita. Nita mengusap-usap rambut anaknya.
"Capek?" Nathan hanya mengangguk, sembari memejamkan matanya menikmati usapan tangan sang bunda di rambutnya.
"Aku capek sama hidup aku, Bun," ujar Nathan.
Nita mengerutkan keningnya. Selama ini, ia dan suaminya memberikan Nathan banyak kasih sayang dan apapun yang dia inginkan. Tak ada satu kalipun membuat Nathan tersakiti. Kenapa putranya berkata seperti itu? Apa ada perlakuannya yang salah?
"Kenapa, Sayang?" tanya Nita.
"Hidup aku gitu-gitu aja. Aku gak tau, kenapa sampai sekarang gak bisa cinta sama cewe?" jawab Nathan.
Nita tersenyum. Itu toh alasannya. "Yang suka sama kamu banyak. Masa gak ada satupun diantara mereka yang kamu suka?" heran Nita.
Nathan menggeleng. "Aku normal, kan, Bun?" tanya Nathan.
Nita terkekeh mendengar pertanyaan konyol dari putranya. Tunggu, itu bukan konyol. Bisa saja Nathan memang ada kelainan. Putranya itu tidak pernah menceritakan soal perempuan. Hanya sepak bola dan motor yang selalu ia ceritakan ketika kumpul keluarga.
"Sayang, kita cek, ya?" Terdengar nada khawatir dari Nita.
"Eh, masa Bunda anggep serius, sih? Gak mungkin lah aku gak normal. Aku 'kan pernah tidur sama---" Ucapan Nathan berhenti. Ia merutuki bibirnya yang tidak bisa dikendalikan.
"Apa kamu bilang? Kamu pernah tidur sama siapa?" Sorot mata Nita menajam begitu mendengar ucapan putranya yang membuatnya naik pitam.
"APA?! KAMU BERANI TIDUR SAMA PEREMPUAN YANG BUKAN ISTRI KAMU, NATHAN?" Nathan semakin gelagapan saat Rendra berdiri di depan pintu kamarnya sembari berkacak pinggang.
"Nggak gitu, Om," elak Nathan.
"Lalu apa?!" tanya Rendra dengan mata melotot.
"Cuma sekali, Bun, Om. Setelah itu gak pernah lagi," ucap Nathan.
"Dengar, Nathan! Saya perhatikan, semakin hari kamu semakin berulah. Kalau kamu tidak bisa berubah, saya akan pindahkan kamu ke Surabaya!" tegas Rendra.
Bukannya takut, Nathan malah geram. Om Rendra selalu ikut campur dalam kehidupannya. Memangnya, siapa dia? Lalu apa haknya menyuruhnya pindah? Dia hanya om, bukan ayahnya. Selama ini Om Rendra terlalu jauh mengaturnya hidupnya. Ayahnya saja tidak sampai begitu.
"Om gak ada hak buat ngatur hidup aku!" bantah Nathan.
Rendra tersentak mendengarnya. "Saya lebih dari kata berhak, Nathan!" tegas Rendra.
"Sudah, Rendra. Mbak mohon, jangan pisahkan Mbak dengan Nathan. Kasih hukuman buat Nathan apapun itu, tapi jangan bawa dia pergi," pinta Nita.
"Apa, sih, Bun! Kenapa Bunda harus memohon sama dia?! Bunda lebih berhak atas aku daripada dia!" ucap Nathan sembari menunjuk Rendra.
KAMU SEDANG MEMBACA
NATHAN (ON GOING)
Teen FictionNathan Raganta. Cowok yang tidak tertarik dengan dunia percintaan. Baginya, cinta itu omong kosong. Sampai sekarang, dia belum pernah merasakan apa yang namanya jatuh cinta. Hidupnya sempurna. Keluarganya kaya, utuh, dan harmonis. Dulu dia murid yan...