13

43 4 0
                                    

Atlas tersenyum manis saat melihat kekasihnya sedang sibuk mencatat sesuatu. Di tangannya ada satu plastik yang berisi makanan ringan dan minuman. Ia tau, Arin tidak ada waktu untuk ke kantin.

"Makan dulu. Dilanjut nanti aja," ucapnya sembari meletakkan kresek plastik itu di meja Arin.

Arin tersenyum tipis. Atlas memang pacar yang sangat pengertian. Tidak salah ia memilih Atlas.

"Tugas dari Pak Firman bikin aku pusing tujuh keliling. Banyak, ribet lagi," gerutu Arin sembari mengerucutkan bibirnya.

"Tugas apa, sih? Sini aku bantu." Atlas menarik buku Arin.

"Analisa tentang kasus ini, toh."

"Emang anak teknik bisa ngerti masalah ginian?"

"Jangan panggil aku Atlas kalau gak bisa ngerjain ini tugas."

"Gini-gini aku juga ngerti psikologi. Kamu lupa Mama sama Abang aku psikiater?"

Sebagian besar keluarga Atlas memang seorang psikiater Sedikit-sedikit Atlas jadi tau ilmu psikologi.

"Kenapa kamu nggak ambil jurusan psikologi aja?" tanya Arin heran.

"Passion aku di komputer," jawab Atlas.

"Oh." Arin mengangguk-anggukkan kepalanya.

Arin menatap Atlas kagum. Pacarnya itu selalu ada kapanpun dan bagaimanapun keadaannya. Atlas tidak pernah meninggalkannya. Atlas bisa menghargainya. Arin terkadang menyayangkan kenapa tidak sedari dulu saja mereka dekat. Kenapa dia harus jatuh cinta dengan pria seperti Gery yang hanya menyakiti hatinya.

Apapun itu, Arin sekarang merasa sangat bersyukur dan beruntung memiliki Atlas.

Kehadiran Atlas bak pelangi setelah hujan badai. Dia memberi warna yang sempat redup di hidup Arin. Atlas kembali mengangkat rasa percayanya akan cinta sejati.

"Kemarin aku ketemu Gery. Dia sekarang kacau banget. Gak pernah berubah," kata Atlas tiba-tiba membuat senyuman Arin luntur.

Topik tentang Gery selalu membuat moodnya turun drastis. Dia masih belum bisa melupakan penghinaan Gery terhadapnya.

Fyi, Atlas pun mengikuti jejak Nathan. Setelah kelulusan dia memutuskan untuk mundur dari Elang. Baginya, sekarang bukan waktunya untuk main-main lagi. Ini waktunya untuk menata hidup dan menatap masa depan dengan fokus yang penuh.

***
Gery melemparkan sejumlah uang di atas ranjang tempatnya setelah melakukan malam panjang bersama wanita malam langganannya. Wanita itu tersenyum sumringah. Selain senang karena mendapatkan bayaran, dia juga senang karena bisa bercinta dengan pria tampan seperti Gery.

Wanita itu beranjak dari ranjang dan tanpa malu menghampiri Gery dengan tubuh telanjangnya. Gery menyentak tangan nakal wanita itu yang dengan lancangnya mengelus bagian lengannya.

"Honey, kok kasar banget? Padahal, semalam aku terkesan dengan permainan kamu, lho," ujarnya dengan nada manja membuat Gery semakin muak.

Gery meninggalkan wanita itu yang masih berteriak memanggil namanya. Gery tidak suka wanita yang agresif. Dia lebih suka wanita yang jual mahal dan tegas. Mungkin itu yang membuatnya selalu mengabaikan Arin saat dulu perempuan itu mengejarnya.

Berbicara tentang Arin, Gery akhir-akhir ini entah kenapa begitu peduli tentang perempuan itu. Perempuan yang dulu menyukainya sekarang malah menjadi kekasih sahabatnya. Entah kenapa, ada sedikit rasa tidak suka.

Gery memasuki markas Elang. Hanya ada beberapa anggota Elang yang masih tidur. Gery pun memutuskan untuk merebahkan diri juga. Bukan tidur, tapi meratapi hidupnya yang terasa hampa dan kosong. Dari dulu sampai sekarang, hidupnya tidak pernah berubah. Kesepian selalu menjadi teman dekatnya.

Tak lama kemudian, terdengar suara deru mesin mobil. Gery mengabaikannya. Namun, suara yang sangat ia kenali membuatnya bangkit dari posisi rebahannya.

"Atlas? Tumben?" Gery sedikit terkejut dengan kehadiran Atlas.

Bagaimana tidak, setelah temannya itu keluar dari Elang, Atlas tak pernah lagi berkunjung ke markas.

"Gue cuma mau ngundang kalian ke acara pertunangan gue sama Arin," kata Atlas sembari menyodorkan paper bag.

"Itu undangannya. Lo bagiin aja ke anak-anak," lanjutnya sembari mendudukkan diri di samping Gery.

"Gerak cepat lo," kata Gery sedikit sinis.

"Harus. Cewek kayak Arin harus segera diikat secara resmi. Lo sendiri kapan nemuin pujaan hati?" Atlas memandang Gery yang menampilkan raut wajah tidak sukanya.

"Gak usah ngurusin gue!" sentak Gery.

"Gue cuma mau temen-temen gue pada tobat. Terutama lo, Ger."

"Itu kata-kata yang gue denger dari orang-orang yang hidupnya udah enak. Lo pikir gue nggak pernah nyoba? Udah! Tapi, itu gak berhasil bikin gue merasa nyaman. Yang ada malah nambah beban."

"Lo harusnya berterimakasih sama gue karena gue udah ngelepas Arin, lo jadi bisa dapetin pujaan hati lo itu."

***
Nathan hanya mendengarkan omongan ibunya dengan malas. Selalu topiknya adalah Mentari. Entah aduan apa lagi yang gadis itu adukan pada ibunya. Kehadiran Mentari menjadi suasana rumah selalu memanas.

Om Rendra saja bahkan jarang pulang ke rumah ini. Mentari, gadis itu gila. Tidak hanya mencoba mendekatinya, tapi dia juga merayu Om Rendra. Om-nya itu memang awet muda. Wajahnya masih terlihat rupawan. Meski begitu, tetap saja seharusnya Mentari tidak bersikap menjijikkan seperti itu.

Nathan sungguh ingin sekali tinggal sendiri. Nathan tetap bertahan karena ibunya. Beliau selalu melarang dan menahan Nathan. Nathan tak kuasa melawan ibunya.

Melupakan masalah keluarganya, Nathan beralih pada persoalan tentang Arista---sang pujaan hati. Yang harus dia taklukkan bukan hanya Arista saja, tapi juga Ardanaya. Nathan harus mendapatkan restu Ardanaya agar lebih mempermudah jalannya untuk mendapatkan Arista kembali.

"Aku ganggu?" Suara imut yang terkesan dibuat-buat itu membuat Nathan berdecak kesal.

"Banget!" sentak Nathan.

"Maaf, tapi Kak Nathan dipanggil Papa," katanya dengan wajah memelas.

"Ya." Tanpa ingin menanggapi gadis gila itu, Nathan berlalu menuju ke tempat sang Papa yang ia yakini sedang bersantai di halaman belakang.

Dilihatnya pria paruh baya itu sedang bersantai membaca koran sembari sesekali menyeruput teh manis hangat. 

"Ada apa Papa panggil aku?" tanya Nathan tanpa basa-basi.

"Kamu dekat lagi sama mantan pacarmu itu?" Rafi melontarkan pertanyaan yang membuat Nathan bingung sekaligus penasaran.

"Emangnya kenapa?"

"Apa itu sumber kebahagiaanmu?" Rafi menatap putranya dengan intens.

Nathan yang mendengar itu sedikit tersentuh. Sejak kehadiran Mentari, kasih sayang dan perhatian ayah dan ibunya memang berkurang. Mereka lebih memperhatikan dan mengutamakan Mentari.

"Tentu aja," jawab Nathan yakin.

Arista adalah sumber kebahagiaannya saat ini. Satu-satunya perempuan yang berhasil membuat jatuh cinta.

"Jadi, kapan kalian akan menikah?" Nathan terkejut mendengar pertanyaan tak terduga dari ayahnya.

"Nathan belum kepikiran sampai sana. Kami masih terlalu muda buat nikah, kan, Pa? Sekarang Nathan masih pengen ngejar impian Nathan. Lagian hubungan Nathan sama Arista masih sebatas pendekatan," jelas Nathan.

"Gak ada yang salah kalau kamu menikah muda," ucap Rafi membuat Nathan semakin penasaran mengapa ayahnya ini ingin sekali dia menikah.

Masalahnya Nathan belum mendapatkan kepercayaan Arista. Hubungan mereka masih sangat jauh dari kata dekat. Tambah lagi, Ardanaya tidak merestuinya. Beliau membencinya.

"Papa pengin pensiun dan Papa mau kamu yang mimpin perusahaan. Dengan begitu, kamu harus punya istri lebih dulu. Biar kamu ada yang ngurus dan belajar tanggung jawab."



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NATHAN (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang