BAB 18

1K 140 16
                                    

"Gue mau ngomong sama lo, boleh?"

Ten bersedekap dada seraya menganggukkan kepala.
"Boleh. Mau ngomong apa?"

Detik itu juga dapat Ten lihat raut wajah Doyoung berubah sendu.
Lelaki yang sering dijulukki kelinci tersebut bahkan menarik dan menghembuskan napas pelan, kemudian meraih kedua tangan Ten dan menggenggamnya.

"Ten, gue mohon lepasin Jaehyun buat gue" ucapnya membuat Ten mengerutkan dahi.

"Gue sayang banget sama dia sebelum dia kenal lo. Dari dulu Ten, jadi gue mohon tolong lepasin Jaehyun!"

Ten merasa bersalah melihat Doyoung yang sudah sebegitu putus asanya, namun ia memilih diam ingin mendengar apalagi yang akan Doyoung katakan.

"Kalau lo bener-bener anggep gue sahabat, gue yakin lo pasti mau nurutin permintaan gue. Toh, lo juga nggak suka kan sama Jaehyun? Jadi mendingan lo lepasin dia, jangan bikin dia berharap ke lo yang berakhir membuat dia kecewa"

Benar kata Doyoung. Akan terlihat sangat egois jika Ten terlalu memberi Jaehyun harapan, bahkan dirinya saja belum tahu bagaimana perasaannya kepada Jaehyun.

"Ten gue mohon" Doyoung menatap Ten melas bahkan matanya mulai berkaca-kaca.

"Gue----"

"Ten nggak bakal ninggalin gue sampai kapanpun!"

Baru saja Ten akan berucap tetiba Jaehyun datang dan memeluk lehernya dari belakang.

"Jaehyun? Kamu udah bangun?"
Ten mencoba melepaskan tangan Jaehyun dari lehernya, namun sang empu bersikukuh menahan.

"Udah sayang" Jaehyun mendaratkan kecupan mesra pada pipi Ten yang tentu saja membuat Doyoung memalingkan pandangannya supaya tidak melihat adegan mesra antara Jaehyun dan Ten.

Ten tersenyum kikuk, lalu Jaehyun beralih menatap Doyoung sinis.

"Udah berapa kali gue bilang jangan gangguin gue lagi! Eh lo malah berani-beraninya nyuruh Ten buat lepasin gue buat lo? Ck"

Jaehyun berdecak, tak lupa dengan senyuman miring yang terpatri pada wajah pucatnya.

"Apa gue salah kalau gue sayang sama lo, Jae?"

"Salah. Karena gue nggak cinta sama lo, jadi lo nggak usah maksa gue buat cinta sama lo!"

"Sama. Ten juga nggak cinta sama lo, tapi lo tetep maksa Ten buat stay disamping lo. Apa itu nggak egois namanya?"

"Beda Young! Ten itu sebenernya cinta sama gue tapi dia belum sadar, dan tugas gue buat ngeyakinin dia kalau gue bener-bener sayang sama dia"

Doyoung tersenyum miring, menengadahkan wajahnya menahan air matanya agar tak terjun bebas.

"Terus gue? Gue juga berhak dong merjuangin lo biar lo juga cinta sama gue"

"Young, percuma lo mau ngomong ratusan kalipun gue nggak bakal buka hati buat lo. Mau tau kenapa? Karena hati gue udah diisi sama Ten"

"Tapi Jae, bisa kan lo ngasih kesempatan buat---"

"Hussshhhhh"
Jaehyun menyela ucapan Doyoung.

"Lo tau pintu keluar kan? Mending lo pergi dari sini, jangan pernah ganggu hidup gue lagi dan jangan pernah lagi ngomongin hal konyol kayak gini. Kalau enggak.... Lo tau kan, nasib adek lo ada ditangan gue?"

Doyoung menggertakkan giginya menahan kesal.
"Shit!!"  Umpatnya pelan, lalu ia pergi begitu saja meninggalkan Jaehyun dan juga Ten yang hanya diam sedari tadi.











"Sayang?" Ten reflek tersadar dari lamunannya tatkala Jaehyun membelai pipinya lembut.

"Iya?" Ten berbalik badan menghadap Jaehyun.

"Yuk masuk" Jaehyun meraih tangan Ten dan bersiap mengajak kekasihnya untuk kembali masuk ke dalam ruang rawatnya.

"Bentar Jae, aku mau beli kopi dibawah" Ujar Ten sembari melepas tangan Jaehyun pelan.

"Oh gitu, yaudah yuk aku temenin"

"E-eh nggak usah. Kamu belum pulih, mending istirahat aja. Aku bentar doang kok"

Jaehyun mencebikkan bibirnya.
"Beneran ya sebentar? Jangan lama-lama nanti aku kangen"

Ten menarik sudut bibirnya, menatap Jaehyun jijik.
"Apaan sih lebay banget. Dah ya aku tinggal dulu, kamu istirahat aja nanti sekalian aku panggilin dokter buat meriksa kamu"

Ten mendorong tubuh Jaehyun sampai ke ranjang, menyelimuti tubuhnya dan merapihkan rambut sang dominan.

"Tinggal dulu ya"

Jaehyun mengangguk seraya menyunggingkan senyum.
"Iya sayang"

Kemudian Ten keluar dari ruang rawat Jaehyun, tujuannya adalah lantai satu dimana kantin berada.












Baru saja selesai menuruni anak tangga, Ten berpapasan dengan Anna.

"Eh Anna" Sapa Ten riang seperti biasa, namun lain halnya dengan Anna yang nampak datar.

"Nih gue bawain baju ganti"
Anna memberikan tas kecil yang Ten yakini berisi bajunya.

"Makasih An"

"Hm, yaudah gue cabut"
Anna hendak berbalik badan, akan tetapi Ten mencekal pergelangan tangannya.

"Lo kenapa? Lagi mens?"

"Kagak" jawab Anna singkat.

"Terus kenapa? Lagi ada masalah? Atau berantem sama Johnny atau Yuta?"

"Enggak. Gue gapapa kok, gue fine. Gue cabut" Anna bersiap melangkahkan kakinya, namun lagi-lagi Ten menahannya.

"Apaan lagi sih?" Anna menghempas tangan Ten kasar yang tentu saja membuat Ten mengernyit bingung.

"Lo kenapa sih An? Tiba-tiba kek gini? Gue ada salah sama lo?"

"Iya!!!" Anna menatap Ten penuh amarah.

"Apa salah gue?"

"Kenapa sih lo dulu nggak bilang ke gue kalau lo pernah ditembak sama Lucas?"

Ten menghela napasnya pelan.
Jadi ini sebabnya Anna marah kepadanya.

"Ya karna lo suka sama Lucas, An. Makanya gue nggak bilang"

"Terus kata Lucas, lo pernah bilang kek gini. Andai gue nggak suka sama dia, kalian jadian? Iya gitu? Jadi lo pernah suka sama Lucas? Kenapa nggak bilang ke gue Ten? Kenapa?"

"Y-ya karena gue nggak mau persahabatan kita hancur cuma gara-gara Lucas, An"

Anna mendecih pelan sembari mengedarkan matanya ke segala arah.

"Jadi lo pernah suka sama Lucas?"

Ten memejamkan mata sejenak kemudian berkata.
"Iya dulu, tapi sekarang gue cuma anggep dia temen nggak lebih."

"Kenapa dulu lo nggak pernah bilang Ten? Dengan lo nggak bilang itu bikin gue jadi sepupu sekaligus sahabat yang jahat karena jadi penghalang antara lo dan Lucas, Ten! Ngerti nggak maksud gue? Toh kalau waktu itu lo bilang, pasti gue ikhlasin Lucas buat lo"

"Anna please. Itu cuma masa lalu, udah ya jangan dibahas lagi"
Ten mencoba menyentuh pundak Anna, akan tetapi sepupunya tersebut menghindar terlebih dahulu.

"Gue kecewa sama lo, Ten!" Ucap Anna dengan wajah penuh kekecewaan. Kemudian wanita tersebut melangkah pergi meninggalkan Ten yang mengacak rambutnya frustasi.

"Ahhh apaan lagi sih ini.... Emhhhh"

Tepat setelah ucapannya itu tiba-tiba seseorang dari belakangnya menyumpal pernapasannya dengan sebuah kain, dan ingatan terakhir Ten hanyalah kegelapan.


Punch-Jaeten✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang