bab 8 isi kotak hitam

75 13 0
                                    

KETIGA remaja yang meniarap itu mendengar suara tertawa mengejek. Datangnya dari atap garasi! Mereka mendongak, memandang ke arah situ.

Nampak seorang anak laki-laki bertubuh pendek tapi berdada tegap
berdiri di atas atap. Umurnya sepantar dengan Pete. Rupanya ia memang sengaja bersembunyi di situ, sambil melancarkan serangan dengan ketapel. Alat pelontar batu itu ada di tangannya.

"Tar - tar - tar!" Anak itu tertawa lagi. "Kalau aku mau, kalian tadi merupakan sasaran empuk! Tidak tahu ya, caranya berlindung terhadap serangan? Huh, kalian benar-benar tidak tahu apa-apa!"

Pete cepat-cepat berdiri.

"Kakiku bisa patah tadi, Bender!" serunya dengan marah. "Ketapel itu senjata yang berbahaya!"

"Ah, omong kosong," balas Frankie Bender. Diambilnya sesuatu dari sebuah kantung yang tergantung di pinggangnya, lalu ditembakkannya dengan ketapel ke arah Pete, tapi tidak dengan sekuat tenaga. "Itu, lihat - pelorku cuma dari kayu! Kecuali itu bidikanku selalu tepat, dan aku tadi menembakkan kebanyakan dari pelor-pelorku ke sekitar kalian saja. Nih, lihat!"

Frankie menembakkan ketapelnya lagi, sekarang dengan sekuat tenaga. Pelornya melesat, lewat dekat sekali dengan kepala Pete. Pete langsung pucat mukanya, tapi ia tidak bergeming. Jupiter mendekati garasi lalu
mendongak, menatap anak laki-laki yang berdiri di atas atap bangunan
itu.

"Kau tidak berotak, Frank Bender," kata Jupiter dengan suara dingin. "Kapan-kapan pasti akan ada yang cedera karena perbuatanmu, dan kalau itu terjadi, kau benar-benar akan mengalami kesulitan. Kecuali itu, kalau tidak salah ada peraturan yang melarang penggunaan ketapel seperti yang kaupegang itu."

"He, he, nanti dulu!" Frankie meringis, tapi nampak jelas bahwa ia merasa tidak enak. "Ngomongmu pintar sekali, masak kau tidak tahu bahwa aku cuma main-main saja tadi?"

"Mungkin maksudmu memang cuma main-main saja, tapi ketapelmu itu bukan alat permainan!" sergah Pete dengan sengit.

Jupiter berbicara lagi dengan gaya tenang, "Aku berniat melaporkan perbuatanmu pada polisi." Cengiran Frankie langsung lenyap. Ia memandang ke bawah dengan masam.

"Jangan coba-coba, Gendut! Kalian anak-anak manis ini sebenarnya mau apa kemari, hah? Kalian memasuki rumahku tanpa izin. Ya, betul, aku tadi cuma mempertahankan hakku sebagai penghuni tempat ini!"

"Kau rupanya perlu tahu lebih banyak tentang undang-undang," kata Bob,
lalu tertawa. "Aduh, apa saja sih yang tidak kauketahui, Frankie?" "Jangan coba-coba bersilat lidah, Bender, karena untuk itu diperlukan otak," kata Jupiter menyindir. "Yang kami inginkan darimu adalah kotak jinjing berwarna hitam yang kaucuri dari tempat kecelakaan mobil dua hari yang lalu. Kotak itu, beserta isinya."

"He, dari mana kau -" Frankie tidak meneruskan kalimatnya. Matanya yang kecil nampak memancarkan sinar licik, di tengah wajahnya yang tembam. "Kotak yang mana? Aku tidak tahu apa-apa tentang kotak hitam." "Ada yang melihatmu membawanya!" tukas Pete. "Itu bukan aku!" balas Bender. "Ada saksinya!" kata Bob dengan tegas. "O ya? Kalau begitu, kenapa belum ada polisi datang kemari?"

"Karena mereka belum mengetahui apa yang sudah kami ketahui," ujar Jupiter. "Dengar dulu baik-baik, Bender! Orang yang naik mobil Datsun itu pencuri! Isi kotak itu barang curian. Kau bisa terlibat dalam kesulitan nanti, jika menyembunyikannya."

"Aku tidak mengerti, kau ini bicara tentang apa," kata Bender berkilah. "Janganlah bersikap tolol," kata Jupiter sambil menggeleng-geleng. "Jika kau tidak mengalami kesulitan dengan polisi, yang jelas kau akan dirongrong
pencuri itu! Saat ini ia sedang mencari-cari kotaknya itu. Jika sampai kau
ditemukannya -"

Frankie Bender berdiri di atas garasi sambil menggigit-gigit bibirnya selama beberapa saat. Kemudian ia mengambil sikap menantang. "Aaah, kalian cuma mau menipuku saja, ya! Aku tidak pernah melihat kotak hitam, yang mana pun juga. Sekarang pergi dari sini, sebelum aku bersuit memanggil gengku!"

(25) TRIO DETEKTIF: MISTERI SETAN MENANDAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang