16. Taiga dengan monolog-nya

144 15 13
                                    

[Nico PoV]

***

Untungnya ada Emu dan yang lainnya. Jadi hal ini bisa sangat cepat ditangani dengan memanggil ambulan segera, dan kini ambulan itu tengah diperjalanan menuju kemari. Apa aku harus membantu mereka?

Ah entahlah, itu teman Taiga 'kan? Lebih baik aku pulang dan main video game di tempatnya Taiga, atau aku harus bantu-bantu juga? Ah, aku bingung! Main game Gacha menarik! Tapi mereka semua juga penting!

Tapi... aku tak sadar kalau disini, eh, bukan, di seluruh alam semesta ini banyak sekali kejadian yang sudah menjadi takdir.

Entah dimana, kapan, atau 'pun bagaimana, kisah takdir sudah ditentukan. Bahkan orang lain yang tak dikenal bisa menulis takdir itu.

Ya, aku juga seperti itu. Takdirku untuk menjadi Tensai Gamer N akhirnya tercapai, kesukaan pada game akhirnya membuatku menulis takdir bahwa aku memang dapat dipercayai untuk takdir menjadi Gamer.

Aku mengeluarkan Nintedo Switch dengan berlabel nama Nico Saiba dengan beberapa stiker disana. Dan sebuah bayangan terpantul di layar Nintedo Switch.

"Tunggu, itu Taiga? Mengapa ia hanya diam disana?" gumamku dalam hening, melihat punggung dan dirinya yang sedari tadi diam.

"Hey, Taiga?! Apa yang kau lakukan, huh?!" teriakku dari kejauhan dan menghampirinya.

Dia terdiam tanpa menjawab, dan masih berdiri tegak. Aku menatap matanya yang penuh ketakutan, mulut yang terus bergetar dan seiring dengan kaki-nya yang hampir ambruk.

"Aku menyesal, aku gagal."

Monolog-nya terkesan menyeramkan, dingin, dan terdengar seperti rintihan dalam kesedihan.

"Hey, Taiga, kau tak apa? Kau menyeramkan dengan rupamu seperti itu, walau sebenarnya kau menyeramkan setiap waktu," kataku kepadanya, ia masih sama dengan keadaannya. Sebentar, maaf untuk acara agak menistakan Taiga tadi.

Aku menepuk bahunya beberapa kali, mendorong punggungnya, hasilnya nihil. Dia nggak bergerak!

Aku menghampiri Emu, apakah ada solusi untuk Taiga yang diam seperti ini. Aneh rasanya.

"Emu!" Emu tetap sibuk dengan pasien-pasien anak kecil. Sudahlah, aku menyerah. Kenapa mereka terlalu sibuk dengan urusannya?

Tapi... Taiga, ia lebih tak terlihat sibuk. Ia seperti, takut. Takut akan sesuatu, gemetar dan... kesedihan. Ia seperti ingin merintih, ingin mengeluarkan semuanya yang di dirinya. Menghampiri-nya dan menenangkannya walau aku tak tahu ia kenapa bukankah sebuah hal menyeramkan, 'kan? Walau notabene-nya Taiga merupakan orang yang menyeramkan.

***

Aku menepuk bahunya pelan, "Taiga."

"Aku minta maaf, walau itu tak 'kan merubah takdirmu," dia tetap seperti itu, oh, ayolah. Sadarlah, Taiga!

"TAIGA!" aku mengguncang bahu-nya, ia terdiam.

"Jika kau ingin minta maaf, maka garis takdir itu akan berubah! Aku tak tahu kau minta maaf dengan siapa atau apa, tapi, kumohon! Jika kau memiliki kesalahan, mari tebus dosa kesalahan itu!"

Taiga menoleh, mengangkat kepalanya. "Dosaku terlalu banyak... dan itu,"

"Tak bisa ditebus."

|| Beyond The Wind || Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang