Bonus - 2

807 122 57
                                    


Ramein vote & komennya dong? 😜



**


Mirza berusaha melapangkan dadanya.


Enam tahun, bukan waktu yang sebentar. Berteman dan berdamai dengan beberapa kemungkinan yang baik dan buruk.


Baiknya, mungkin ia bisa bertemu dengan Mina. Buruknya, mereka tidak bisa bersama lagi.


Namun, tak apa. Asalkan Mina sehat, aman, dan bahagia, sudah lebih dari cukup bagi Mirza untuk kembali melanjutkan hidupnya yang sempat berhenti sejak kepergian Mina.


Secangkir cokelat panas, dengan asap yang mengepul, menemani keheningan diantara jarak yang memisahkan keduanya.


Tak ada sepatah kata, terkecuali—

"Nama kamu, siapa?" tanya Aru, berbahasa jepang pada anak kecil di pangkuan Mina.


Anak itu tersenyum lebar, pipi bulat menggemaskan ikut bergerak seiring lengkungan senyum seperti bulan sabit.


"Miwa." ucapnya, tampak malu-malu.


Aru sedikit menatap pada Mina dan Mirza bergantian. Mungkin kehadirannya dan Miwa membawa batas penghalang, maka dari itu ia mencoba untuk inisiatif.



"Miwa, mau bermain?" Miwa mengangguk, tangannya terulur, Mina juga tak ragu melepas Miwa pada Aru yang kini berlutut untuk menuntun tangan mungil Miwa.



Sesekali Mina memperhatikan, anak lelaki Mirza tumbuh dengan amat sangat baik, Aru  sangat tampan dan manis. Bahkan, syal yang ia berikan masih Aru pakai. Ada sedikit haru, dan air mata yang menitik ketika Aru membawa Miwa ke sudut tempat bermain anak-anak.



Tak jarang Miwa dan Aru tertawa. Miwa sendiri bisa berbahasa indonesia, karena Mina yang mengajarkannya.



Hening kembali.


Mirza berdeham sembari menatap Mina yang menunduk, hingga wanita itu mendongakan kepalanya, menatap Mirza.


"Kabarmu, baik?" Mina memejamkan mata, menahan air matanya yang hampir menetes. Suara yang selalu ia rindukan setiap malam, kembali hadir menyapanya.


Mina mengangguk, anggukkan yang tampak terlalu dipaksakan.

"Baik sekali. Bagaimana dengan kamu... Mas?" tanya Mina. Mirza menarik nafasnya, menahannya sepersekian detik.


"Terlalu malu untuk mengatakan, tidak baik sejak kamu pergi." jawab Mirza, ada helaan nafas yang dapat Mina dengar. Ingin sekali, Mina juga mengatakan hal yang sama namun— tidak mungkin.


"Miwa. Nama yang bagus." Tutur Mirza, berharap Mina menceritakan padanya, tentang janin yang hidup di perut Mina ketika pergi hari itu.


Mina hanya tersenyum pahit,


"Apakah dia— "


"Miwa tidak punya Ayah." tutur Mina, Mirza mengernyitkan dahinya, menggelengkan kepala, tak percaya.


"Saya. Seyakin-yakinnya itu saya. Ayah Miwa." Ucap Mirza yang membuat Mina menggelengkan kepala, menolak ucapan Mirza.


"Cukup, Mas. Pergi." Usir Mina, ada rasa tidak tega saat menatap mata Mirza, tatapan dalam yang mampu menyihirnya berkali-kali, meluluhkan hatinya.


"Kenapa? Kenapa harus seperti ini, Mina?!" Mirza penuh penekanan disetiap katanya, penekanan yang berarti kecewa, rindu, kesal, dan segala rasa bercampur menjadi satu.


Bittersweet ; MinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang