memori still stay

13 2 0
                                    


Di luar jalanan masih dilapisi embun. Berembus dengan udara dingin dan kabut, kaki ini melangkah meninggalkan sepetak tanah yang kutinggali. Sepertinya aku butuh waktu sendiri. Ini dia me time versiku.

Memakai kaos putih panjang ditambah jeans biru cerah dan sepatu putih. Hanya mengitari sekitaran kompleks, tak lupa aku juga membawa totebag barang yang tidak boleh ditinggal. Sepi, udaranya masih sejuk, orang-orang belum bangun. Kuhirup oksigen lamat-lamat, melangkah pelan sembari memperhatikan sekitar.

Entah sejak kapan kebiasaan ini berlangsung, berjalan kaki tak tentu arah sampai jauh, baru setelahnya mengecek ada di mana dan pulang ketika lelah. Tentunya Kuroo tidak pernah ikut bersamaku, mana mau dia jalan kaki dan panas-panasan kalau bisa naik motor. Tidak tahu betapa serunya menjadi seorang pengamat, melihat orang yang berlalu lalang dengan segala tingkah polanya.

Ditambah lagi tidak perlu pergi jauh-jauh sampai ke Bali untuk melihat pemandangan indah. Kita hanya perlu menyadarinya, bahwa pohon menjulang di sisi jalan juga punya ranting rindang yang indah polanya, atau langit biru dengan awan terlihat menenangkan. Apalagi memperhatikan gerak awannya, hiburan kecil gratis.

Kurasa sudah cukup jauh aku berjalan, buktinya matahari sudah hampir di atas kepala. Beruntung depan sana ada penjual es kelapa muda, hausnya segera terbayarkan. “Mang, es kelapa muda satu tanpa es, ya!” pesanku duduk di kursi kayu panjang di sebelah gerobak itu.

Seolah sedang mencerna apa yang barusan aku katakan, tak lama setelahnya bapak penjual es kepala muda itu baru mengangguk. Biarkan dikatakan aneh, memang aku mau es kepala muda tanpa es!

“Ini, Neng!” Bertepatan dengan aku menoleh mendapati segelas air kelapa beserta kulit kepala mudah yang manis enak itu.

Beres mengisi tenaga, kakiku kembali melangkah membelah jalanan perkotaan yang ramai. Bahkan beberapa kali tak jarang aku terbatuk oleh asap knalpot motor dan mobil, udara sudah tidak segar lagi. Oleh karena itu, di sinilah aku. Menaiki jembatan penyemberangan, menikmati pemandangan kota dari sana. Banyak yang berubah seiring berjalannya waktu, berbeda sekali saat aku masih kecil bangunan tinggi menjulang tidak seramai sekarang. Itu mengingatku akan suatu hal.

Suatu malam yang sial aku sendiri tidak ingat persisnya kapan, tetapi itu sepulang rapat komunitas kampus yang aku ikuti. Di kampus, sih, memang ramai orang. Begitu berjalan menuju rumah yang terasa sangat jauh, gelap, sepi, dan tidak ada siapa pun.

Awalnya biasa saja, toh, namanya juga memang sudah tengah malam. Namun, begitu menaiki jembatan penyeberangan untuk menyeberang, kulihat segerombolan orang dengan pakaian yang berantakan tengah duduk-duduk di jalan tersebut, apalagi sambil merokok dan minum. Sial, aku merasa menyesal ikut rapat.

Seharusnya dari awal aku tidak perlu datang saja. Tanpa pikir panjang aku meng-call nomor Kuroo sambil menyimpan ponsel di saku. Benar dugaanku, semakin aku berjalan mendekat mereka tampak memperhatikan.

“Mau ke mana, Neng? Malam-malam gini sendirian,” sahut salah satu dari mereka. Mungkin ada tujuh orang kalau tidak salah.

“Ya, pulang Bang masa tidur di luar,” jawabku asal memalingkan wajah. Kesal juga, dikira ini tempat punya bapakmu, ngalangin jalan saja.

“Etss, jangan buru-buru dong, Neng. Kumpul bareng Abang aja,” cegahnya ketika aku mencari celah untuk kabur.

“Dah malem, Bang.” Minggir bangsat, gue mau balik, jeritku dalam hati. Kalau kupukul juga kalah jumlah.

“Lagian, ya, Abang-abang kagak ada kerjaan banget ngumpul-ngumpul di jembatan penyeberangan. Mending pulang sana anak bini nyari,” celetukku bermaksud memberi kode. Kudengar tadi suara Kuroo samar-samar, teleponnya sudah terhubung.

Mereka malah semakin mengerubungiku tidak jelas sambil tertawa-tawa. Please, Kuroo semoga sampai tepat waktu.

Aduh, aku sudah gemetaran mendorong mereka menjauh malah tanganku yang dipegangi kuat-kuat. Sial, sial awas lo, ya! Kutendang kepunyaan orang di depanku hingga membuatnya mengaduh kesakitan. Begitu mereka lengah, kutarik tas dan memukulnya keras-keras ke orang di samping.

Ketika berlari belakang bajuku ditarik paksa sampai aku terjerembap. Sakit sekali. “Jangan macem-macem, diem kalau enggak mau kenapa-kenapa!” seru salah satu dari tujuh orang berbadan besar.

Ya, kalau diam-diam doang pasti sudah dimacam-macamin juga. Memang aku tolol apa?

“Woy! Jangan ganggu pacar guee!!” Teriakkan itu membuat semua menoleh ke sumber suara. Yes, Kuroo datang!

Tanpa ba-bi-bu lelaki itu menghajar orang-orang di depannya tanpa ampun. Begitu-begitu juga Kuroo jago karate, kilatan amarah terlihat jelas di bola matanya, apalagi melihatku tanganku lecet karena jatuh tadi.

“Suru, udahh! Udah, ihh nanti anak orang mati!” pekikku panik sendiri orang itu memukuli preman tadi sampai berdarah dan tidak sadar diri masih saja dihajar.

Kupeluk erat-erat pinggangnya, tidak kuat menarik dia yang lebih berat dan kuat dibandingkan kan diriku. Baru setelah napasnya lebih tenang, lelaki itu memeluk erat dan menangis di bahuku. Aku tahu dia begitu cemas dan khawatir, kadang Kuroo bisa secengeng ini. Dasar!

. . .

Ah, kenapa aku jadi mengenangnya. Padahal niat pergi sendiri untuk melupakan semua beban pikiran. Kalau begini, sih, namanya tambah-tambah beban pikiran. Segera aku menyingkir dari jembatan penyeberangan tersebut, tidak aman untuk sekarang.

Kalau dipaksa berjalan jauh lagi kakiku sepertinya tidak akan sanggup. Mau tak mau aku memesan ojol, ada satu tempat lagi yang ingin aku kunjungi menjelang sore ini.
Ya, tidak jauh-jauh, sih, cukup ke mal terdekat. Bukan untuk shopping-shopping menghabiskan uang juga, cuman lihat-lihat cuci mata. Menjelajahi hampir semua lantai mal tersebut, dari melihat boneka dan pernak-pernik lucu yang tidak pernah membuat mata bosan, sampai coba-coba ke toko pakaian juga.

Tak lupa yang paling penting makan! Menjajal beberapa camilan hingga makanan berat tidak ketinggalan. Akhirnya sampai di tempat terakhir, toko buku. Karena ke tempat ini menghabiskan banyak waktu.

Mulai dari rak-rak novel, komik, juga buku pengembangan diri. Beberapa buku terpilih terpajang khusus di rak best seller, pasti yang tulis bangga banget. Masih berputar-putar menatap ribuan kumpulan kertas di sana, tentu kalau ada Kuroo dia pasti sudah kesal hanya dengan melihatku.

Lelah berkeliling dan akhirnya hanya membeli tiga buku. Saat hendak membayar kepalaku tanpa sengaja menoleh ke bangku yang berada di pojok toko. Namun, sosok itu tidak ada di sana. Bangku itu kosong tanpa ada yang mendudukinya.

Benar, waktu itu katanya, sih, mau menemani ke toko buku padahal aku sudah bilang enggak perlu. Berujung dia yang lelah sendiri karena aku tidak ada capeknya berkeliling ke sana kemari. Meski di rak yang sudah kulalui lebih dari lima kali pun.

Akhirnya lelaki itu lebih memilih membeli sebuah buku, yang pasti dipilihnya secara random. Selesai membayar dia duduk di kursi paling pojok, entahlah aku tidak terlalu memperhatikan. Yang jelas selesai memilih buku dan hendak membayar dan pulang kutemui dirinya yang sedang tertidur menjadikan buku tersebut sebagai penutup wajah. Dasar, ada-ada saja kelakuannya.

Bahkan pada jam yang sama, pukul 9 malam. Yang kini aku keluar sendirian dari toko tersebut, bukan bergandengan tangan lagi. Ngomong-ngomong buku yang waktu itu Kuroo baca berjudul “Usai”. 

. . .

Halolo, Nita back!

Another part about susahnya move on🤣🤣🤣.

Vote and comment, ya!

Annoying Relationship | Kuroo TetsuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang