terang-terangan

21 4 0
                                    

Kami terduduk di salah satu kafe yang Kuroo pilih. Mungkin ini juga tempatnya sering nongkrong, terlihat jelas dengan banyak orang yang sedari tadi menyapa lelaki itu. Bisa kuduga mereka bahkan tidak tahu kalau aku ini pacarnya.

Terkadang itu membuat sebal, sih, meski memang kami hampir tidak pernah menebar kemesraan di muka umum. Aakashi melirikku sesaat, tahu kalau aku risih di tempat yang ramai.

Huh, Aakashi saja tahu aku kurang suka berada di kafe, tetapi Kuroo yang sudah lima tahun bersama itu entah lupa atau memang tidak peduli.

"Til, mau pesen apa?" tanya Kuroo akhirnya berbicara denganku setelah selesai basa-basi pada orang-orang itu.

"Apa aja, yang pedes kalau bisa," kataku malas. Melihat ketidakminatanku, Kuroo hanya menghela napas.

Memang ... memang aku tidak seasyik perempuan-perempuan yang selalu diajaknya nongkrong itu. Sebelum Kuroo memprotes sikapku Aakashi lebih dulu menengahi, akhirnya kami memesan satu ayam geprek level 3 plus nasi dan teh manis. Sementara Aakashi hanya memesan nasi goreng dan kucing garong itu dengan ikan bakar sambal matah kesukaannya.

"Sepertinya akhir-akhir ini kamu sering bareng Aakashi," sahut Kuroo memulai percakapan, eh tidak peperangan. Nada tidak sukanya itu masih terdengar, meski sudah disembunyikan.

"Ya, emang." Aku hanya membalas sekadarnya, menatap laju kendaraan di jalanan sana lewat kaca kafe, yang menjadi pengganti tembok membuatnya terlihat transparan.

"Memangnya kenapa? Toh kamu juga sepertinya lebih sering dengan perempuan lain daripada pacar sendiri," sergahku mulai malas hanya untuk menatap wajah Kuroo yang katanya tampan nan rupawan.

"Til, itu aku cuman temenan bias--"

"Ye enggak masalah, sih, mau temenan atau dijadiin pacar juga. Enggak ada larangannya juga. Sekalian aku mau ngasih tahu ... kenalin ini Aakashi Keiji, pacarku!" potongku membuat kedua lelaki itu terkaget.

Aakashi melebarkan bola matanya, seolah tidak percaya aku terang-terangan menyatakan selingkuh. Semetara Kuroo terlihat sangat shock, syukurin kena mental!

"Maksudnya kamu ... se--selingkuh gitu?" Tergagap Kuroo mencoba memastikan bahwa mungkin dia tadi salah dengar.

"Aakashi pacar aku. Kalau kamu bisa selingkuh, kenapa aku enggak?" Aku balik bertanya, tetapi tak ada satu pun jawaban yang terdengar dari mulut Kuroo setelahnya.

Bersamaan dengan itu pesanan kami datang. Selanjutnya yang terjadi hanya keheningan di antara denting sendok yang beradu di atas piring, semua terdiam dan aku terlalu malas harus memulai kembali obrolan.

Mungkin bisa dibilang kami saling melempar bumerang. Entah bumerang dari siapa yang akhirnya paling merusak salah satu dari kami.

Lalu, kemudian akankah Kuroo lebih memilih pura-pura terlihat baik-baik saja atau melepaskanku pergi?

Jawabannya hanya soal waktu, bukan?

. . .

Waktu berlalu, makanan tandas dan kami berniat pulang. Masih dalam keheningan sampai Kuroo membuka suara. "Nit, aku ke kontrakanmu, ya, ada yang harus kita bicarain."

Mataku meliriknya sesaat, sesuatu menahan pergelangan tangan. Aakashi menatapku cemas dan seperti tak yakin untuk meninggalkan kami berdua. Dipanggil nama asliku olehnya, serasa tidak mengenakan. Kuroo jarang sekali memanggil nama asliku kecuali berbicara serius, dan itu kebanyakan tidak berakhir baik.

Nitaa, ayo bernapas! Kamu harus siap mau tidak mau. Pada akhirnya masalah ini juga memang harus dibicarakan cepat atau lambat.

"Tidak apa-apa," bisikku sambil tersenyum. Aku tahu bahwa Aakashi akan mengerti, kami butuh waktu berdua.

Tak lama rumah kecil dengan cat biru sudah berdiri di hadapan kami. Kuroo dan aku. Rasanya lebih canggung berbicara dengan pacar sendiri sekarang.

"Kapan?"

Jarum jam terus bergerak meski tak ada satu pun yang bersuara. Aku hanya bertanya satu kata, sudah bisa menebak jawabannya.

"Nita bukan aku ... maksudnya--"

Kuroo tergagap, padahal aku tidak mengatakan apa pun selain satu kata itu. Lihat pacarmu ini sekarang hanya bisa tersenyum kaku, sejak kapan kamu menjadi seasing ini?

"Bukankah ini yang harus kita bicarakan? Jika tidak, ya, sudah aku mau tidur," kataku bangkit tanpa menunggu lagi. Menuju kamar.

Sampai tanganku memutar kenop pintu, Kuroo berbicara. Mungkinkah dia sudah siap bercerita atau aku yang harusnya menyiapkan hati?

"Sebenarnya Alisa ... kami pernah dekat saat aku masih kelas 1 SMA, tapi tidak ada hubungan jelas.

"Kamu datang tahun berikutnya membuatku tertarik. Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk mengutarakan perasaan ... haha lucu sekali waktu pertama kali aku menembakmu. Ya, kurasa semuanya baik-baik saja. Tahun kedua hubungan kita, aku baru tahu kalau Alisa kakak dari juniorku, tapi semuanya biasa saja. Aku punya kamu. Sampai tahun ketiga aku tidak masalah dengan LDR."

Ceritanya menggantung. Kuroo memberi jeda begitu lama sambil sesekali menarik napas berat. Tentu saja jantungku berdetak tidak tenang dari tadi, apa yang sebenarnya tidak aku tahu? Rahasia tidak pernah enak didengar sebenarnya jika terungkap.

"Dia datang lagi ... sungguh Nita aku mencintaimu! Masih dan selalu. Namun, kamu tahu aku rasa tidak cukup dengan itu, aku ingin kamu dan mencoba melakukan apa pun yang aku mau. Kurasa tahun lalu akhirnya aku memutuskan berpacaran dengan Alisa. Kukira kamu tidak akan tahu, kamu selalu tidak terlalu peduli banyak hal satu hal kebangsatan yang aku syukuri ... dan ya kamu tahu sekarang."

Berakhir. Cerita itu, penjelasannya. Kakiku lemas seketika, 1 tahun Kuroo mencurangiku, memanfaatkan kepercayaan dan rasa tidak curigaku untuknya bermain api dengan yang lain. 5 tahun itu bukan waktu yang sebentar, dan meskipun selama itu ... kini mendengar semuanya. Dia bukan Kuroo yang aku kenal, bukan lelakiku, orang yang aku cintai sedari dulu.

"Maaf."

Sial, sial, sial aku tidak ingin menangis. Tidak ingin terlihat lemah dan terluka. Namun, mata biadab ini tidak menuruti keinginanku, masih di sana menempel pada pintu kamar dengan tangan di atas kenop pintu. Sekarang kuputar sempurna, membuka dan menutupnya sekaligus.

Persetan dengan cinta, perasaan, hubungan ini dan apa pun itu. Sesak, air mataku merembes keluar tanpa tahu malu. Aku hanya bisa meringkuk, memeluk lutut di balik pintu.

"Pulang ...."

Suaraku mulai serak. Hanya bisa menangis dalam diam, ternyata tahu apa-apa lebih menyakitkan daripada berpura-pura biasa saja.

Akhirnya dia jujur. Kejujuran yang sangat ... berengsek. Kenapa? Kenapa kalau begitu kamu dulu malah mendekatiku, menjadikan aku dan kamu saling memiliki. Bukan dengannya dari dulu? Jika tahu begini aku tidak pernah ingin berkata ya.

Apakah aku ini pelampiasan? Atau apaaa sebenarnya?!!! Tega, aku terluka. Terbohongi selama ini, bukankah kunci dari sebuah hubungan adalah kepercayaan? Lalu apalagi yang tersisa untuk aku percaya, Tetsuro?

Lama aku menunggu, suara langkah kaki yang menjauh dari tengah rumah dan pintu yang terbuka tutup. Akhirnya dia pergi.

Aku sendiri.

. . .

Halolo, Nita di sini!

Maaf banget sebesar-besarnya katanya mau marathon up, tapi enggak jadi. Sebagai bayarannya aku tulis part ini lebih panjang. Diusahakan buat cepet tamatin cerita ini, tapi sekarang aku bener-bener sibuk.

Makasih yang udah mampir, jangan lupa vote-nya.

Annoying Relationship | Kuroo TetsuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang