Fight & sick

17 1 0
                                    

Jalanan lengang itu seharusnya sepi. Namun, tidak ketika sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan tak terkira, mengebut di jalanan kosong. Di depan sana sebuah motor berwarna sama tengah melaju santai, ketika tiba-tiba jalannya dihadang mobil yang tak begitu asing.

Decitan di aspal terdengar nyaring, nyaris saja badan motornya menyentuh benda besar di hadapannya. Kuroo, lelaki pengendara motor itu refleks mengumpat, melepas helm siap memaki siapa saja. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.

Seseorang dengan rambut silvernya membuka pintu mobil dengan kasar. Berjalan mendekat dan terburu, tiba-tiba menarik kerah baju si pemuda bermotor itu. “Lo selingkuhi Nita?!” seru Bokuto, orang yang mencegatnya itu.

Masih dengan suasana yang tegang di antara keduanya. Bokuto kembali mengambil alih suara. “Lo masih inget perkataan gue dulu, ‘kan?” tanyanya menatap nyalang Kuroo.

Sementara orang yang ditanyai itu melepas kasar kerah bajunya yang tadi dicengkram kuat sang lawan bicara. “Iya,” balasnya singkat tanpa basa-basi mendorong Bokuto mundur kembali memakai helm dan menaiki motor. Melaju ke suatu tempat, tahu bahwa urusan mereka tidak akan berakhir damai.

Bokuto hanya mengumpat, mengusap kasar wajahnya dan segera mengejar sahabatnya itu. Sampai mereka berada di sebuah lapangan kosong, tepat di tengah-tengahnya. Saling menatap dengan tatapan penuh emosi, amarah tertahan.

“Lo udah punya Nita. Apa itu enggak CUKUP, SETAN?!!” teriak Bokuto disertai bogeman mentah melayang pada pipi Kuroo. Awal mulanya pertengkaran dimulai.

Tak hanya berdiam diri, Kuroo pun melayangkan pukulan yang sama membuat lelaki bongsor di hadapannya sedikit mundur beberapa langkah. Napas keduanya mulai memburu.

“Gue cinta sama Nita. Cinta banget, tapi bukan berarti gue enggak bisa jatuh cinta sama orang lain lagi!” jelas Kuroo tentu memancing amarah orang yang mendengarnya.

“Bajingan!!” Pukulan telak menonjok perut Kuroo membuat sedikit darah keluar dari mulutnya, menahan sakit.

Kesal, marah, kecewa pada diri sendiri dirasakan keduanya. Saling bertukar pukulan, tendangan, tak segan-segan membanting bahkan kalau bisa mematahkan tulang-tulang lawannya. Mereka berkelahi seolah hendak saling menghabisi.

Wajah mulus itu sudah tidak ada lagi. Lebam, darah, dan wajah serta goresan luka di mana-mana membuat keduanya tampak tidak berupa. Bokuto bodoh. Dia memaki dan meruntuki dirinya sendiri, bodoh karena tidak menyadari hal yang sejelas itu.

Bodoh karena membiarkan sahabatnya terluka dan tersakiti. Apa yang katanya melindungi? Dia bahkan telat menyadarinya. Benar-benar tolol, orang tolol, ya, dirinya. Segala umpatan rasanya tidak cukup untuk menggantikan sesakit apa rasanya diduakan.

Bagi siapa pun, pasangan adalah milik mereka seorang, dan temannya sendiri, sahabat dia dicurangi. Hubungan mereka jelas tidak lagi sama seperti dulu, semuanya sudah berubah. Bokuto kesal pada orang di depannya, pada dirinya.

Saat gelap mulai menyelimuti di atas kepala mereka, barulah keduanya merebahkan diri di tanah kering. Saling menatap ke depan yang tidak berujung. Egois, kata yang mendefinisikan dirinya ini. Kuroo sadar akan hal itu. Bagaimana mungkin satu hatinya diisi oleh dua orang? Mungkin Kuroo contoh sialannya.

Serakah, ya, memang dirinya begitu. Tidak ingin melepaskan apa yang begitu berharga baginya. Nita itu lebih dari sekadar perempuannya, dia itu tempat bersandar, tempat pulang, orang yang tahu segala sisi buruk Kuroo dan tetap menerima hal tersebut. Sisi lemahnya, orang yang dengan senang hati merentangkan tangannya kala dia terpuruk. Orang yang senantiasa menghiburnya saat sedang berdua.

Lebih-lebih dari sekadar pacar. Namun, meski begitu hati bajingannya tetap menampung nama lain. Salahkah? Mungkin iya.

“Gue egois, ya?” celetuk Kuroo masih dengan pandangan yang sama.

“Itu tahu,” timpal Bokuto ketus.

“Bok, menurut lo, gue sanggup enggak bahagiain Nita lagi? Masih pantes enggak gue?” Suara Kuroo kembali bertanya pada orang di sampingnya itu.

“Tanya ke diri lo sendiri, mau gak lo?” Bokuto balas melempar pertanyaan.

Kuroo hanya tersenyum tipis mendengar ucapan sahabat dari SMA-nya itu. Dia ingin mencoba, sekali lagi. Demi perempuannya.


. . .


“Tolong pergi,” pinta orang yang duduk di seberang itu. Kukira ada apa sampai nomor tidak dikenal mengajakku bertemu di sebuah kafe begini. Membuang-buang waktu saja.

“Maksudnya?” tanyaku tidak terlalu mengerti. Ambigu hanya mendengar dua kata tersebut, meski feeling-ku mengatakan hal yang jelas.

“Jangan pura-pura tidak mengerti! Jauhi Kuroo. Jangan ganggu kami lagi. Biarkan kami bahagia.” Kalimatnya penuh penekanan.

Alisa Haiba, atau lebih dikenal selingkuhan Kuroo. Iya, selingkuhan pacarku yang berdiri di depan sana berbicara hal yang membuat aku tidak habis pikir. Perempuan itu bahkan tanpa tahu malu berkata seperti itu sambil berteriak, ditambah lagi matanya yang berkaca-kaca membuat kami menjadi pusat perhatian.

Oh, ya Tuhan, salah apa aku ini? “Bukankah seharusnya aku yang berkata begitu, Selingkuhannya Kuroo?” Terkekeh sendiri aku melihat semua ini. Ayolah, orang lain yang berbuat, tetapi aku yang harus menanggungnya, huh? Lucu. Sangat.

“Aku yang mengenalnya lebih dulu, meski kamu pacarnya pun. Buktinya sekarang apa? Dia tetap kembali padaku, karena DIA MENCINTAIKU!” cerocosnya membuatku serasa ingin tertawa terbahak-bahak. Namun, aku tidak melakukannya, tidak ingin sama gilanya dengan perempuan itu.

“Dia juga mencintaiku,” timpalku santai. Tidak begitu peduli dan memang benar adanya.

Lihat sekarang jalang ini sedang apa? Begitu mendengar perkataanku dia langsung menggebrak meja tidak terima, bahkan jarinya tepat menunjuk wajahku. Sungguh tidak tahu malu.

Ingin kuludahi saja sebenarnya perempuan penggoda itu. Sayang, aku bukan perempuan yang akan menangis-nangis karena diselingkuhi. Bukan pula melepas begitu mudah apa yang sudah menjadi milikku, apalagi dengan orang sepertiku di hadapan aku ini. Perlu aku pertegas, najis.

Playing victim, dia yang menjadi selingkuhan, tetapi seperti aku yang mencuranginya. Sungguh mendrama sekali sampai membuatku muak dan ingin muntah. Karena bagaimanapun baik aku ataupun Kuroo tahu, hati kecil kami masih saling memiliki, saling mencintai.

“Aku yang pertama, tetapi kau datang merusak segalanya. Aku hanya mengambil apa yang seharusnya aku dapatkan dari dulu! Berhenti mengganggu kami!” jerit Alisa heboh, perempuan itu sudah banjir air mata, tanpa perlu melirik sekitar pun aku sudah tahu banyak orang menaruh iba pada pihak yang salah.

Sudahlah, aku lelah. “Tidak ada kewajiban aku menuruti ucapanmu. Meski nanti pada akhirnya aku bertahan atau melepaskannya, itu semua karena pilihanku, bukan atas campur tanganmu. Semoga bahagia, Alisa!” pungkasku pergi.

Yang aku tahu setelahnya perempuan itu bahkan sampai jatuh terduduk di lantai, beberapa orang datang menghampirinya. Entah, aku sungguh sudah tidak peduli bagaimana tanggapan orang lain padaku saat ini.

Mereka tidak tahu apa-apa. Yang sakit bukan hanya kamu saja, di sini.


. . . 

Halolo, triple up!

Sumpah, sih, aku gedeg sendiri nulis part ini. Sabar, sabar ye:>


Annoying Relationship | Kuroo TetsuroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang