Seorang bocah laki-laki tampan tampak duduk sendirian di taman. Pandangannya menelisik sekitarnya. Takut-takut jika nantinya ada yang mencoba menculiknya.
Bocah- ugh balita lima tahun itu tampak murung, dilihat dari raut wajah nya yang sendu. Di samping kirinya ada box besar yang entah berisi apa.
"Hai."
Seorang balita lain menyapa balita yang duduk sendirian itu. Ia tersenyum manis dan sangat lebar hingga si lawan bicara ikut tersenyum.
"Kau sedih?" Tanya balita manis itu.
Balita yang lain hanya mengangguk. Lalu menepuk tempat kosong di samping kanannya. Bermaksud mengajak temannya itu duduk bersama.
Si balita menuruti, dengan berusaha naik ke atas bangku taman.
"Apa isi nya?"
Balita tampan itu hanya menunduk. Tak menjawab pertanyaan si manis.
"Kau menangis?"
"Tidak! Aku laki-laki, mana boleh menangis. Kata daddy, laki-laki gak boleh menangis."
Sementara itu, si manis terkikik karena jawaban si tampan. Hanya merasa lucu.
"Hei! Kau belum menjawab pertanyaan ku." Ucap si manis tiba-tiba.
Si tampan menoleh, lalu menatap polos ke arah balita yang lebih kecil darinya.
"Aish. Itu, kotaknya. Kau tak ingin membukanya?" Tanya si manis.
"Kenapa aku harus membukanya? Isinya sudah hancur. Lagipula, aku tidak menginginkannya."
Sungguh, mereka hanya balita lima tahun. Tapi gaya bicara mereka seperti orang dewasa. Banyak pasang mata yang menatap gemas kearah mereka. Bagaimana tidak? Si balita manis terus saja bertanya pada lawan bicara. Dan hanya di jawab sesuai kebutuhan.
Dan cara mereka berbicara juga menjadi pusat perhatian.
"Kalau begitu, biar ku lihat."
"Jangan!"
"Biar Jaem lihat!"
"Tidak! Ini punyaku!"
"Lihat sebentar!"
"Tidak boleh!"
Mereka saling berebut kotak milik balita tampan itu. Hingga akhirnya, si tampan melepas tangannya dari kotak, membuat si manis jatuh terjungkal dari bangku dan berakhir menangis.
"Huwaaaa hiks- ayah..."
Balita lainnya hanya menatap polos, namun akhirnya mendekati temannya dan mengulurkan tangannya.
"Maaf..."
Si manis mendongak. Matanya sembab karena menangis, hidungnya memerah. Matanya mengarah pada uluran tangan di depannya yang segera Ia sambut.
"Terima kasih hiks-"
"Sudah, jangan menangis."
Balita manis itu segera menghapus jejak air matanya. Lalu tersenyum manis.
"Kita belum tahu nama masing-masing." Ucap si manis.
"Benar. Aku...Nono. Panggil saja begitu."
"Aku Na Jaemin. Kita berteman?"
"Kita teman."
Senyuman keduanya terbit. Begitu lebar. Dan sejak hari itu, keduanya saling berteman, dan akan saling berjanji untuk bertemu di taman itu setiap harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Prince [NOMIN] - End
Fanfiction[COMPLETED] *Sedikit deskripsi tidak sesuai dengan alur cerita. Maafkan jika ada kesalahan pada alur* Jeno dan dunianya, menjadi ancaman kehidupan seorang Park Nana. Murid nerd berkacamata tebal dengan buku sebagai sahabat. Pertemuannya dengan Jeno...