1-PROLOG dan Perkenalan

112K 8.1K 3.4K
                                    

Btw.. bisa tahu cerita ini dari mana?

Baru baca atau baca ulang?

Buat pembaca lama, mungkin bakal ngerasain beberapa perbedaan di bab awal ini, tapi intinya sama aja kok :)

Hal yang harus disiapkan :
Mental
Hati
Tisu, ah bukan. Handuk

.

[TEASER UNTUK ARJUNA]

.

[PROLOG]

Jakarta, 2013

Seorang anak lelaki begitu bersemangat berlari memasuki pekarangan rumahnya. Wajahnya semringah, tanda betapa bahagia hatinya saat itu. Tak sabar untuk segera memberitakan sebuah kabar gembira kepada keluarganya.

"Papa! Mama! Juna menang! Juna juara! Pa, Ma! Ini lihat Jun--" Pekikan riang itu tersela begitu suara seseorang yang ia sayangi menusuk indra rungunya.

"Wah, nilai kamu sempurna, Kak. Hebat sekali anak Papa yang satu ini."

"Mama bangga banget sama kamu, sayang."

"Kamu mau hadiah apa? Nanti semuanya Mas beliin buat kamu, anak pinter."

Langkahnya memelan begitu ia memasuki rumah dan disuguhi pemandangan tak asing di depannya. Terlihat sesuatu seperti pesta kecil-kecilan yang terekam dalam netranya. Bukan pesta dengan hiasan meriah, namun suasana yang terpancar menunjukkan segalanya. Dan yang pasti, bukan pesta untuk menyambut kemenangannya. Juna sadar akan hal itu.

Ia melihat sang kembaran yang duduk di antara kedua orang tuanya, pucuk kepalanya dikecup singkat oleh Papa dan Mamanya. Juga tak lupa si sulung yang mengusak rambut itu dengan penuh sayang. Entah mengapa seolah ada duri yang menancap tepat di jantungnya. Nyeri. Wajah semringah itu berganti haluan.

Jujur saja, Juna iri. Ia juga ingin diperlakukan seperti itu. Terlebih saat ini, ia memiliki sesuatu untuk dibanggakan. Namun ketika melihat medali, piala dan piagam yang sudah jelas Juna tahu siapa pemiliknya, Juna terpaksa menekan rasa irinya. Ia tak boleh membiarkan perasaan itu berubah menjadi dengki. Tak boleh. Juna harus tahu diri. Kembarannya memang layak mendapat perlakuan seperti itu. Ali memang anak yang membanggakan. Tidak seperti dirinya.

Medali berwarna silver yang bertengger di genggamannya, spontan ia tarik ke belakang tubuh. Disembunyikan seolah itu adalah barang haram yang tak boleh siapapun melihatnya. Dengan ragu-ragu, Juna mengambil langkah maju.

"Assalamu'alaikum, Juna pulang," salamnya dengan nada sebiasa mungkin.

Sontak yang lain melirik pada anak itu. Mimik wajahnya berbeda-beda. Ada yang bersahabat, namun ada pula yang seperti gunung es terbeku di antartika. Membekukan langkahnya tepat setelah enam langkah dari pintu. Juna bergeming di tempatnya.

Untuk Arjuna[✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang