Part 7: Affection

2.3K 261 25
                                    

New benar-benar bersyukur Rumah yang telah mereka tempati selama lima belas tahun ini dibangun hanya dengan satu lantai, jadi ia tak perlu kesusahan harus naik-turun tangga dengan beban perutnya yang semakin berat dari hari ke hari ini.

Menginjak kandungan empat bulan, janin di dalam perutnya mulai aktif sehingga pergerakannya juga semakin terasa. Menenangkan sang jabang bayi dengan elusan lembut dari luar kemeja biru laut yang ia gunakan, New mengedarkan pandangan ke seluruh sisi rumah yang tertangkap oleh penglihatannya.

Ia jadi teringat akan alasan mengapa dirinya menolak usulan Tay untuk membangun Rumah tingkat dua, menurutnya hal tersebut bisa membuat mereka jadi jarang bertatap muka, juga karena saat itu Pluem dan Frank masih kecil, jadi ia takut akan terjadi apa-apa jika anak-anaknya harus naik turun tangga setiap saat.

Meneguk susu vanilla dari gelas sampai habis, mata bulatnya menangkap sosok si anak tengah yang baru saja keluar dari kamar yang memang jaraknya paling dekat dari dapur, kini menghampirinya dengan wajah yang ditekuk muram.

"Tumben udah bangun, Dek? Ini baru jam lima, loh? Biasanya juga digelitikin Ayah baru mau bangun"

"Kakak, Bun"

"Eh iya, Kakak. Maaf Bunda lupa, he he" ia tertawa canggung, diakuinya memang ia belum terbiasa dengan panggilan baru untuk ke dua anaknya

Frank memeluk lengan New erat, lalu merengek lemas. "Bunda perut Kakak sakit banget, deh"

"Hah? Sakit gimana maksudnya?"

"Ya sakit, mules. Kakak nggak bisa tidur, dari tadi bolak-balik kamar mandi mulu"

"Loh kok bisa? Sini duduk dulu" New dengan buru-buru mengambil sebuah minyak kayu putih dari Kotak Obat, lalu mendatangi Frank yang kini duduk lemas bersandarkan kursi pantry. "Abis makan apa sih kamu?"

"Nggak makan yang aneh-aneh, kok. Cuma minum Bop Ice doang tadi Siang di Sekolah. Eh!"

Pria berkulit putih itu menggelengkan kepala mendengar pengakuan 'tak sengaja' anaknya. "Karena es batu nya ini pasti. Udah tau perutnya sensitif juga"

"Ih Bundaaa, anaknya sakit tuh diobatin bukan diomeliiinnnn"

Menjepit pelan hidung bangir Frank, New kembali berseru. "Dikasi tau Orang Tua tuh makanya didengerin! Kalau Kakak masih diomelin berarti kita masih sayang sama Kakak"

"Iya maafff" ujarnya pelan sembari menikmati sentuhan halus New yang tengah melumuri perutnya dengan minyak kayu putih

"Nah udah. Nanti kalau mulesnya nggak berhenti coba minum obat Diare aja ya, Kak. Mau dibuatin Susu nggak?"

"Jus Jeruk boleh nggak, Bun?"

"No Juice before breakfast, inget kan?"

"Yahhhh. Ya udah mau balik bobok aja deh kalau gitu".

New tertawa geli melihat wajah cemberut Putranya itu. Ia mengusak rambut tebal Frank lalu ikut masuk bersama ke kamarnya, setelah diminta ikut oleh sang anak. Jalan bersisian seperti ini membuatnya tersadar seberapa cepat anak-anaknya tumbuh dewasa. Dulu mereka selalu berjinjit untuk minta digendong, namun sekarang sudah hampir setinggi ia dan Tay.

Berada dalam satu selimut yang sama, Frank semakin mendekatkan tubuhnya pada sang Bunda. Hal ini membawanya kembali pada memori-memori masa kecilnya ketika ia takut pada gelap. Biasanya New akan selalu menemaninya sambil mengelus punggunya lembut hingga ia terlelap.

"Bunda kok nggak pernah nemenin Kakak tidur lagi?"

"Yang minta kan kamu! Katanya bukan anak kecil lagi, udah bisa tidur sendiri"

The VihokratanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang