Pantulan di cermin menampakkan wajah kuyu, mata sayu, pipi yang cekung, dan sorot tak bergairah seorang perempuan. Apalagi tubuh kurus dengan perut yang sedikit membuncit, membuat kondisi bayangan itu terlihat sangat memprihatinkan. Sulit kupercaya, tapi perempuan mengenaskan itu aku. Bahkan, saking menyedihkannya, aku hampir tak mengenali bayangan diriku sendiri.
Mulai semester tujuh, aku memutuskan untuk tidak kuliah. Aku mengambil cuti karena tak bisa lagi menyembunyikan perut yang cukup menonjol---walaupun ukurannya tergolong kecil di usia enam bulan. Tepatnya sudah tiga minggu aku tak muncul di kelas, membuat teman-teman sekelas mempertanyakan keberadaanku. Dengan sangat terpaksa, aku mengganti nomor ponsel untuk memutus kontak dengan mereka, dengan dunia luar.
"Mbak beli gula sekilo, minyak tanah dua liter, ya ... "
Aku tersadar dari lamunan, segara bangun dari kursi plastik dan mengalihkan pandangan dari cermin usang yang tergantung di tembok, untuk mengambil barang belanjaan pembeli. "Iya, Bu ... sebentar."
Setelahnya aku memberikan barang itu ke Mpok Ana, yang ada di meja kasir. "Ini Mpok, ada belanjaan." Aku menoleh ke arah sang pembeli sambil tersenyum, "bayar di sini, ya, Bu."
Salah satu alasan mengapa aku memilih cuti karena bisa punya waktu lebih banyak untuk mencari uang. Ya, setelah beberapa bulan di awal kehamilan aku mengabaikan kondisiku, dan bersikap sesukaku, kini aku menyadari jika mau tak mau, anak ini harus kujaga. Namun sayangnya, uang saku yang papa kirim tak bisa memenuhi biaya hidupku, ditambah dengan susu ibu hamil serta vitamin-vitamin yang bayi ini butuhkan. Belum lagi, aku harus menabung untuk biaya melahirkan nanti, yang tentu tak murah.
"La, lo nanti kalau pulang, ambil beras tuh, sama susu kaleng," kata Mpok Ana dengan logat Betawi yang kental.
"Kenapa, Mpok? Nggak usah, usah."
Wanita berdaster hijau bunga-bunga, dengan rambut dipasang roll, mendengkus. "Lo itu bunting, tapi badan kayak lidi. Kurus bener. Lo mau anak lo prematur?"
Aku langsung menggeleng dan mengelus-elus perutku. "Jangan doa yang jelek, dong, Mpok .... "
"Ya, makanye ... ambil tuh beras yang udah kantongan sama susu kaleng. Satu atau dua. Gratis deh, buat lo," tukasnya. "Gue kasihan sama lo. Laki lo ke mane, deh?"
Aku cuma meringis, sambil menggeleng.
"Nggak punya laki? Kalau enyak lo?"
Aku kembali menggeleng.
Terlihat Mpok Ana menarik napas. "Susah bener, ye, idup lo. Yang kuat ye lo."
Pukul sembilan malam, akhirnya jam kerja usai. Aku berjalan pulang menuju indekos yang tak terlalu jauh. Suara keroncongan dari perut menggelitik telinga.
"Sabar ya, Nak ... nanti kalau sampai rumah, langsung makan, ya .... "
Menginjak usia lima bulan, aku jadi cepat lapar. Aku selalu mengganjalnya dengan roti atau segelas susu di jam-jam menjelang tidur begini. Aku tersenyum kecil, melihat kantong plastik yang kutenteng. Meskipun galak, Mpok Ana adalah bos yang perhatian. Aku menemukan sosok seorang ibu di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXVENGER (END)
ChickLitReuni SMA jadi salah satu momok terbesar di hidup Lula, wanita berusia 30 tahun. Apa pun akan ia lakukan untuk menghindari acara terkutuk itu. Bertemu kembali dengan Azka---siswa berprestasi dan juga mantan pacarnya, yang memutuskannya tiba-tiba unt...