Cita-citaku dulu begitu sederhana. Aku ingin menjadi guru, seperti papa. Aku selalu menjadikan papa sebagai panutan. Dia guru favorit murid-muridnya. Aku sering melihat murid-murid papa main ke rumah. Mereka datang saat papa ulang tahun sambil membawa kue dan hadiah, atau waktu liburan sekolah, karena merindukan papa. Menurutku, hal-hal kecil seperti itu, sangat menyentuh hati.
Perginya Azka---lelaki paling pengecut yang pernah kutemui---dari hidupku, benar-benar mengubah segalanya. Bisa dibilang, aku keluar jalur. Aku 'terpaksa' berhenti kuliah waktu itu. Keinginanku untuk menjadi guru, kandas. Walaupun akhirnya aku berhasil menyandang gelar sarjana meski terlambat lima tahun lewat universitas terbuka. It's okay. Toh, kerjaku sekarang tidak butuh gelar.
Kini, tujuan hidupku berubah total, setelah pelajaran yang Tuhan berikan sembilan tahun lalu. Kalau kata Olivia, aku menganut gaya self oriented living style, atau bahasa egoisnya aku hidup untuk diriku sendiri. And, I didn't find anything wrong with that. My focuss right now is to make sure that I am content, happy, and never ever to fall in love with the wrong man again.
"Do you listen to me, La?"
"Eh, apa?" Aku gelagapan dan menoleh ke arah Olivia---yang duduk sebelahku, di ujung kanan sofa---karena kaki kurang ajarnya sekarang ada di perutku.
Perempuan berambut blonde dengan perpaduan shade ungu itu, memutar matanya, dan mendengkus. "Oh, bitch ... "
"Nggak usah lebay, deh. Apaan? Lo mau ke mana lagi habis Barcelona?" Aku menepuk kakinya agar menyingkir dari tubuhku.
"Siapa juga yang ngobrolin itu. Gue bilang, kayaknya gue sama Zac, mau nikah tahun depan," gerutunya tanpa menatapku, karena dia sibuk mewarnai kuku.
"Really?!" Aku memekik, dengan mata membelalak lebar. "Oh God, congratulations!"
"Iya, gue mau pakai Kalula's Organizer. Jangan sampai full booked pokoknya, lho," pinta Olivia.
"Ya, lo harus pesen jauh-jauh hari, dong. Jangan dadakan." Aku menoyor kepalanya membuat ia mendesis kesal. "Perusahaan gue EO terkenal, nggak abal-abal."
"Sumpah, songong banget, lo!" Dia berdecak kesal. "Eh, but are you really okay?"
"Memangnya gue nggak oke, kenapa?"
"Kan ada tuh, yang sedih karena sahabatnya nikah. Lo nggak mellow, gitu?"
Aku tergelak. Random banget sih, pikiran ini bocah. "Ya, nggak, lah! Gue seneng. Malahan, gue sempat panik waktu lo mau stay living together with him, tanpa nikah. Seenggaknya kalau nikah kan, Zac terikat sama lo. Jelas, ada status gitu."
"Kalula, sweetheart ... pernikahan itu nggak bikin orang berengsek jadi setia. Kalau berengsek, mau diikat gimana pun, bakal tetap berengsek, jelalatan. Gue nggak mau nikah kemarin-kemarin itu, karena males aja ngurusin tetek bengeknya," tukasnya menyeringai. "Eh, terus ingat, gue punya lo. Apa gunanya EO lo sukses kayak sekarang, kalau gue nggak pernah di-endorse. Gitu, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
EXVENGER (END)
ChickLitReuni SMA jadi salah satu momok terbesar di hidup Lula, wanita berusia 30 tahun. Apa pun akan ia lakukan untuk menghindari acara terkutuk itu. Bertemu kembali dengan Azka---siswa berprestasi dan juga mantan pacarnya, yang memutuskannya tiba-tiba unt...