Plan 31

79.3K 3.8K 269
                                    

Ada yang tidak beres. Aku bisa merasakan perutku terus mengalami kontraksi tidak teratur sejak kemarin. Padahal, usia kandunganku baru menginjak 30 minggu. Masih sangat lama dari HPL yang diperkirakan. Aku sudah izin Mpok Ana hari ini, karena tidak enak badan. Aku mengusap perutku lembut.

"Sabar ya, Sayang. Belum waktunya keluar. Kenapa nyeri ya, rasanya?"

Aku berdoa dalam hati semoga kandunganku tidak bermasalah. Paling tidak, bayi ini jangan keluar sampai mama berkunjung dua hari lagi. Aku tidak mau melahirkan sendirian. Membayangkannya saja membuatku sesak napas.

"Sayang mau keluar sekarang? Kok buru-buru banget, ya?" kataku mengajak bicara bayi di dalam kandungan.

Saat perutku semakin nyeri, kepanikan melandaku. Aku tahu ini masalah serius. Aku mengambil ponsel dan mengirimi mama pesan. Aku lalu menelepon Mpok Ana, satu-satunya orang dewasa yang bisa kuandalkan saat ini.

"Mpok?" panggilku yang lebih mirip dengan rintihan.

"Apaan, La?"

"Mpok, boleh minta tolong nggak? Kayaknya aku mau lahiran deh, Mpok."

"Eh? Bukannye baru tujuh bulan? Kenapa udeh mau lahiran aje?"

Aku meringis menahan nyeri, ketika gelombang kesakitan itu datang lagi. "N-nggak tahu, Mpok. Ini, perutku sakit banget."

"Lo di mane sekarang?"

"D-di kos, Mpok." Aku menarik napas, perlahan, berdoa semoga rasa sakit itu segera surut.

"Ya udeh, ya udeh. Lo tunggu situ, gue susulin."

Setengah jam kemudian aku dan Mpok Ana tiba di Puskesmas. Namun, bidan di sana segera merujukku ke rumah sakit karena air ketuban sudah pecah. Mereka tidak bisa melakukan operasi di sini. Aku semakin takut. Bibirku tak henti-hentinya merapalkan doa, meminta pertolongan dari Tuhan, agar bayiku bisa selamat.

Aku tidak memperhatikan sekitar karena perutku yang semakin sakit. Mataku tiba-tiba berat dan semuanya menggelap. Akan tetapi, aku masih dapat mendengar keramaian sekitar. Suara perawat yang berteriak memanggil dokter. Mpok Ana yang menjerit panik, dan terus mengatakan ada darah. Aku mencoba membuka mata, tapi hanya kegelapan yang menyambutku. Aku bisa merasakan badanku diangkat ke ranjang dan setelahnya aku tak ingat apa pun lagi.

***

"Kalya lahir prematur dan dia punya penyakit jantung bawaan," tuturku menatap Ndaru dengan sendu. "Tetralogy of Fallot. Penyakitnya cukup langka karena kombinasi dari empat kelainan jantung bawaan. Kondisi ini membuat darah yang dipompa ke seluruh tubuh tidak memiliki oksigen yang cukup."

"I am so sorry, Sayang ... "

"Salah satu penyebab kenapa bayi bisa punya TOF karena ibu hamil kurang gizi."

Ndaru terus mengelus punggung tanganku. Kini kami duduk saling berhadapan, bersila di sofa. Wajahku pasti sudah berantakan karena sedari tadi tidak berhenti menangis. Aku lalu bercerita bagaimana beratnya hidupku sebagai ibu muda. Kekhawatiranku takut Kalya tidak akan membuka mata setelah terlelap. Untungnya, mama selalu menyempatkan berkunjung ke Jakarta, tanpa sepengetahuan papa.

"Aku cari uang habis-habisan. Jadi MUA, padahal zaman dulu profesi itu belum setenar sekarang. Jadi pelayan di toko Mpok Ana. Semuanya aku lakuin demi Kalya. Satu-satunya cara biar Kalya sembuh operasi. Dan nggak ada operasi yang nggak butuh duit banyak, Ru," ujarku, "Kalya udah menjalani operasi tahap satu. Pemasangan pembuluh darah buatan. Harusnya, lima bulan kemudian operasi lagi. Tapi, Tuhan ambil Kalya du---"

Aku tercekat, tak bisa melanjutkan kalimat yang terpotong.

"Kalya mengalami infeksi, Ru ... "

Ndaru menarik tubuhku dan menepuk-nepuk punggungku.

EXVENGER (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang