—Minggu pagi ini jadi, lebih berwarna dari yang lalu. sebab, Tinus sudah kembali hadir untuk beribadah digereja. aku senang sekali tidak sendirian lagi terduduk disini.
kami datang lebih awal dari biasanya. entahlah kegiatan ibadah hari ini rasanya sangat berbeda, seperti tidak akan kulupakan mungkin. ya, walaupun jemaat yang hadir tidak sebanyak Minggu lalu.
"jadi, apa yang akan kau lakukan setelah ini?," -tanyaku pada Tinus.
sekarang ini, aku dan Tinus. duduk dihalaman gereja, yang terdapat beberapa bangku putih dibawah pohon-pohon rindang. sangat nyaman jadi, tempat berbincang.
"apa ya? seperti biasa bertemu denganmu, membuat lagu atau mencari inspirasi menulis puisi, berisitirahat cukup, menjaga Luna. kurasa itu saja," -balasnya padaku.
"kau tidak berniat melanjutkan pendidikanmu? kecerdasanmu sayang, kalau tidak dimanfaatkan semestinya," -komentarku lirih padanya.
"pendidikan tidak harus didapat hanya dari lembaga bertajuk sekolah. kau dapat belajar banyak hal dari sekitarmu, tidak harus berpatokan dengan nilai dari setiap bidang studi yang kau lakoni. lagipun aku merasa lebih dari cukup sekarang ini," -ujarnya tersenyum ke arahku.
aku ikut tersenyum karena, yang ia katakan ada benarnya juga. tapi, lagi-lagi ia berasal dari keluarga berada. mungkin ijazah tidak terlalu penting, berbeda denganku yang sangat menbutuhkan lembaran kertas itu.
supaya dapat melanjutkan pendidikanku. sampai ke tingkat perguruan tinggi. bersyukur kalau bisa menjadi orang sukses dimasa depan, sesuai dengan rencana yang telah aku rancang.
"bagaimana dengan hasil kemoterapimu? apa mereka sudah memberitau hasilnya padamu?," -tanyaku lagi padanya.
"tidak, mereka merahasiakannya dariku. aku juga tidak mau ambil pusing, toh aku masih hidup sampai hari ini. jadi, kurasa kemoterapi satu bulan yang lalu berhasil," -ceritanya padaku dengan nada terdengar santai.
namun, aku merasa ada getaran khawatir diakhir ucapannya.
"begitu ya? aku harap kau benar sembuh setelah ini, aku tidak mau melihatmu terbaring pucat diatas ranjang rumah sakit lagi," -timpalku jujur padanya.
"ah sifat perhatian dan manismu ini, kadang membuatku berharap lebih, Tara," -ucap Tinus tersenyum mengusak suraiku.
aku terkekeh mendengar ucapannya. ingin sekali menjawab pertanyaannya sewaktu mengutarakan perasaannya padaku. tapi, aku masih bimbang akan menerima atau menolaknya.
bukan bergaya atau sok jual mahal. jujur saja, aku lebih nyaman menjadi teman dekat untuk Tinus. dibanding menjadi kekasih, atau bahkan pasangannya.
"apa kau mau menghabiskan waktu berdua bersamaku?," -tanya Tinus membuyarkan lamunanku.
"aku mau! memangnya kau mau kemana? atau punya rencana?," -tanggapku padanya.
"belum hehe, itulah alasanku mengajakmu. aku ingin menghabiskan waktu berdua denganmu Tara. mungkin berjalan-jalan, menulis puisi, atau mendengarkan lagu sambil bercerita denganmu?," -tuturnya padaku.
"baiklah aku ikut saja, asalkan kita melakukannya dihari Sabtu atau Minggu. karena, kau tau sendiri aku sangat sibuk bukan? haha," -jelasku padanya.
ia ikut tertawa karena, ucapanku barusan. ya, waktu libur sangat susah aku dapat. aku harus bekerja lebih ekstra lagi.
mengingat satu tahun mendatang, aku lulus sekolah menegah atas. terbayang sudah biaya kebutuhan perguruan tinggi nanti. ah membayangkannya membuat suasana hatiku jadi, agak mendung.
"ternyata teman dekatku ini seorang, workaholic!," -seru Tinus tertawa membentuk bulan sabit disisi matanya.
"apasih, kau ini!? aku bukan workaholic. hanya, memang aku perempuan yang sangat sibuk mengurus karir diusia muda," -tambahku ikut tertawa dengannya.
"kau memang pribadi yang sangat menyenangkan, Tara. bahkan, mendengar suara nyaringmu menyapa telinga, bisa membuat semangat menjalani hariku yang kelabu," -godanya padaku.
"ah kau ini berlebihan sekali, lagipun aku sangat suka menyebut namamu. seperti sangat seru saja, tidak tau juga kenapa," -ujarku padanya.
"kau suka menyebut nama, atau suka pada pemilik nama?," -sambungnya menaik turunkan alis tebal hitamnya padaku.
"yak, Tinus!," -tanggapku mendorong pelan tubuhnya.
pipiku merona mendengar ucapannya. terasa seperti ada sesuatu menggelitik diperuku. Tinus, terkekeh melihatku malu begini.
"oh ayolah, tidak perlu ditutupi begitu. nanti wajah cantikmu tidak terlihat," -ucapnya meledekku.
"Tinus!," -marahku padanya.
aku tidak benar marah hanya, wajahku sangat merah sekarang ini. terasa melepuh begitu, mendengar setiap ucapannya padaku. tolong, aku tidak tau caranya berekspresi setelah ini.
"baiklah sudah cukup, wajahmu sudah semerah udang yang direbus, Tara," -katanya padaku.
mengerucutkan bibir dan menghentakkan kakiku ke tanah, seolah-olah aku marah padanya.
"jangan marah begitu, bagaimana dengan ice cream? aku akan mentraktirmu," -sambungnya padaku.
"ayo, kita pergi sekarang!," -ucapku bersemangat.
"sudah dewasa tapi, kau tidak ada bedanya dengan Luna," -cibirnya padaku.
"apa kau tidak tau? kalau ice cream itu pemersatu usia," -bohongku padanya.
"alasan saja, yasudah ayo," -komentarnya kemudian menggandengku.
pergi menuju kedai penjual makanan manis tak jauh dari gereja. kami ah tidak aku, memesan ice cream vanilla dan strawberry. dengan tambahan sirup manis dan beberapa topping diatasnya.
sedangkan Tinus, setia dengan sapu tangan miliknya. yang bergerak mengelap sudut bibirku. jika, terkena lelehan atau sisa dari ice cream yang tidak sepenuhnya masuk ke dalam mulutku ini.
"pelan-pelan saja Tara, tidak ada yang mau mencuri ice cream milikmu," -komentar Tinus padaku.
"hei! itu kata-kata milikku tau!," -seruku tidak terima.
ia terkekeh mendegarku marah-marah begini. berjalan mengelilingi sudut kota dengan banyak bangunan tua disekeliling kami. Minggu hari ini agaknya menyenangkan untukku karena, dihabiskan berdua dengan sahabatku, Tinus.
—
tbc,
KAMU SEDANG MEMBACA
gone days ( hwangshin )
Fanfiction(baku) ❝Ini perihal 365 hari, belajar menghargai arti penting kehidupan.❞ (started 27/05/2021 , end 24/07/2021) pict & gif source, pinterest. /©️ameriicaneo