11. their smile

169 39 14
                                    

—satu bulan berlalu, Tinus sudah keluar dari rumah sakit. tapi, aku belum banyak bertemu dengannya. hari ini Ibu Tinus menghubungiku lewat sambungan telepon.

ia mengabariku bahwa Tinus ingin aku berkunjung ke rumahnya. beruntunglah ini hari Minggu. usai dari gerja nanti, aku akan langsung pergi kerumah Tinus.

"Ayah, Tara pamit ke gereja dulu ya. setelah itu izin berkunjung ke rumah teman sebentar," -pamitku ke Ayah yang tengah memangkas tanaman kecil didepannya.

"iya, selesai dengan urusanmu nanti lekas pulang ya. ini hari Minggu sebaiknya kamu banyak menghabiskan waktu untuk beristirahat dirumah Ra," -ujar Ayah memperhatikanku.

"baik Ayah, aku tidak akan lama. sebelum malam datang, aku akan segera pulang," -balasku meyakinkan Ayah.

"yasudah kalau begitu, hati-hati dijalan," -tanggap Ayah tersenyum hangat padaku.

"siap kapten!," -timpalku semangat.

lalu mengecup pipi Ayah sebentar sebelum pergi ke luar rumah. beruntung sekali aku punya sosok Ayah sepertinya. yang tidak membatasi kemana aku akan pergi, dan apa yang akan aku lakukan.

tapi, ia juga mensisipkan perhatiannya padaku.

tiba digereja aku segera mengikuti acara beribadah. kondisi gereja hari ini, nampak ramai dengan jemaat yang datang. rasanya terharu setiap datang ke acara kebaktian dihari Minggu begini.

nyanyian jemaat yang terdengar sepanjang acara ibadah kami. lalu dilanjut pembacaan Kitab Suci. acara doa, dan suatu khotbah disesi akhir ibadah kali ini.

usai beribadah aku bergegas keluar dari gereja. sebab, langit mulai mendung. aku harus segera tiba dikediaman Tinus yang tak jauh dari letak gereja ini.

aku berlari terburu-buru, hujan sudah turun dengan cukup deras. merutuki cerobohnya diriku, yang bisa lalai tidak membawa payung. padahal tau, kalau kota ini sudah memasuki musim penghujan.

aku berhenti tepat didepan gerbang rumah megah. sesuai dengan alamat yang aku bawa. sepertinya ini adalah kediaman keluarga Tinus.

kutekan bel disamping pagar hitam tinggi ini. setelahnya nampak penjaga keamanan rumah muncul bertanya maksud kedatanganku. aku jelaskan sebentar perihal janji si tuan rumah yang mengundangku jauh-jauh kemari.

barulah aku diizinkan masuk ke dalam kediaman megah itu. halaman depan rumah luas sekali, entah harus berapa banyak pekerja. dikerahkan untuk membersihkan kalau rumput sudah meninggi dan pohon disini mulai bercabang, pikirku.

"selamat datang, silahkan masuk nona," -sapa hangat para asisten berseragam dirumah mewah ini.

"mau dibuatkan minum atau makananan apa nona?," -tawar salah satunya.

"ah tidak perlu, saya masih kenyang. boleh minta air minum saja? terima kasih ya," -ucapku ke arahnya.

"baik, saya ambilkan dulu. silahkan duduk nona," -balas asisten rumah tangga itu ramah padaku.

aku yang hanya sekedar pendatang, menjadi tamu saja dilayani layaknya tuan rumah. bagaimana dengan Tinus? mungkin dia diperlakukan seperti raja dirumah ini. begitupula dengan keluarganya, ya aku rasa.

"hai selamat datang Tara," -sapa Tinus.

ia tersenyum ke arahku sambil menggendong seorang balita perempuan. yang aku rasa merupakan adiknya. sama ketika dirumah sakit sewaktu itu.

"ayo Luna, beri salam pada Kakak ini," -bisik Tinus pada adiknya.

"h—halo," -ucapnya malu kemudian, bersembunyi diceruk leher Tinus.

gone days ( hwangshin )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang