Tidak bisakah kau diam saja dan mengabaikan semuanya? Kenapa kau harus ikut campur masalah yang tak seharusnya kau urus dalam hidupmu?
🍃🍃🍃
KEMBALINYA Dara siang itu berhasil menarik perhatian teman-teman satu divisinya. Bukan hanya karena tidak terlihatnya Galih di sisinya, juga karena sebuah jaket hitam khas milik seorang pria yang sedang dia gunakan sekarang.
"Lo sendirian, Ra? Pak Bos mana?" tanya Agus yang menyambut kedatangan Dara untuk pertama kalinya.
Semuanya menoleh dan lantas menanyakan hal serupa pada Dara.
Dara mengangkat bahu, tampak acuh tak acuh saat menjawab, "Mana gue tahu, kita kan pisah waktu balik. Gue ke bengkel, dia langsung balik ke kantor. Mungkin dia lagi makan siang kali?"
Dara meringis pelan, teringat kalau dirinya sendiri belum makan siang. Dia berniat pamit pada teman-temannya untuk makan saat tiba-tiba saja Dira mengatakan sesuatu yang membuat jantungnya berhenti berdetak.
"Tapi dia belum ada kelihatan batang hidungnya dari tadi lho, Ra? Mungkin nggak sih kalau dia nyasar? Kan katanya dia nggak hafal jalan-jalan di sekitar sini?"
Mendadak semuanya jadi khawatir kalau atasan mereka nyasar dan tidak tahu jalan untuk kembali.
Aji mungkin memang baru kembali dari luar negeri, tapi itu bukan berarti dia akan melupakan semua yang pernah dia lakukan di negaranya sendiri.
Dan sekali lagi, mantan pacarnya itu bukanlah orang bodoh. Dia termasuk pemegang top ranking semasa sekolah. Dara ingat dengan jelas hal itu, karena Aji selalu menduduki peringkat pertama setiap tahunnya hingga dia lulus sekolah.
Bahkan alasan yang membuat Aji memilih kuliah di luar negeri adalah beasiswa yang dia dapatkan saat memenangkan lomba. Orang tuanya memang kaya raya, tapi Aji bukanlah orang yang bergantung pada kekayaan orang tuanya.
"Nggak mungkin lah dia sampai nyasar," jawab Dara setelah beberapa saat. "Kalau dia emang segampang itu buat nyasar, kenapa dia milih nyetir sendiri pagi ini? Naik taksi atau nebeng Felicia bukannya lebih aman buat dia?"
Walaupun hatinya merasa agak sedikit sesak saat mengatakan nama wanita lain tadi, tapi apa yang dia ucapkan kali ini memang masuk akal. Apa mungkin dia pulang dengan Felicia kemarin, karena dia tidak tahu jalan?
"Bener juga omongan lo, Ra." Farhan berdeham pelan. "Kalau menurut lo sendiri, dia bisa nyasar nggak?"
"Enggak, dia bukan orang buta arah. Gue yakin dia nggak bakalan nyasar, walaupun jalannya belok dan bercabang seratus," katanya dengan yakin.
"Buset, cabang seratus nggak, tuh!" Agus menyeletuk. "Keren banget bisa nggak nyasar padahal diajak belok-belok sampai seratus kali?" katanya.
"Itu tandanya otak si bos terlalu pinter, nggak kayak isi otak lo yang pas-pasan, Gus." Dira nyengir saat Agus mendelik ke arahnya.
Agus menoleh ke arah Dara. "Gue akhirnya ngerti kenapa lo bisa nolak cinta gue sebelumnya, Ra."
Dara mengerjapkan matanya kaget. "Kenapa emang?"
"Karena gue nggak sepintar mantan pacar lo, ya?" jawab Agus.
Dara langsung memelototinya. "Ya kali karena masalah kayak gitu!"
"Terus itu lo pakai jaket siapa, Ra?" Dira akhirnya bertanya setelah sejak tadi menahan dirinya. "Dari Pak Bos, ya?"
"Enggak ini—"
Pintu ruangan divisi mereka terbuka. Galih muncul dari sana sambil membawa beberapa kantung keresek berlogo rumah makan yang cukup terkenal di sekitar sana.
"Nih buat makan siang kalian!" katanya sambil menyodorkan kantung keresek di tangannya. Terutama pada Dara yang masih berada dekat dengan pintu masuk, karena sejak tadi dia ditahan pergi oleh teman-temannya.
Dara mengerjapkan kedua matanya, ia merasa syok setengah mati karena terkejut melihat pria yang berdiri tak jauh darinya ini.
Aji yang dia kenal adalah orang yang perhitungan sekali. Walaupun dia tidak begitu pada Dara, tapi pada teman sekelas atau teman-temannya yang lain, Aji tidak punya toleransi sama sekali.
Lalu sekarang, dia datang sambil membelikan makan untuk orang satu divisi? Dia benar-benar mantan pacarnya yang itu apa orang lain lagi?
Karena Dara tidak bereaksi, Agus mewakilinya untuk mengambil alih. Saat itulah Galih melihat jaket yang belum ia lihat sebelumnya.
"Jaket dari siapa?" tanya Galih, tanpa sadar. Satu tanya yang bisa langsung menjawab pertanyaan serupa dari yang lainnya.
Dara mengerjapkan matanya. Tersadar kembali dari sedikit kenangan masa lalu mereka. "Jaket orang, Pak. Saya meminjamnya sebentar, besok saya kembaliin ke orangnya setelah saya cuci lebih dulu."
Galih menelan ludahnya susah payah. "Oh, apa itu dari pria yang pagi tadi mengantarmu bekerja?"
Dara terdiam. Kenapa Galih malah memperjelas semuanya? Tidak bisakah dia diam saja? Pura-pura tidak tahu atau apa? Kenapa dia malah mengatakan semuanya?
Lagi pula Dara hanya meminjam jaket untuk sementara. Harusnya itu wajar saja, mengingat pakaiannya memang tidak sedap dipandang karena cukup terbuka dan mengekspos ukuran dadanya.
"Itu ... bukan urusan Bapak, kan?"
Jawaban itu membuat Galih mengunci rapat mulutnya. Dia tidak merespon apa pun dan berlalu pergi menuju ruangannya. Namun dari reaksinya yang begitu kentara, para pria di ruangan itu pasti langsung bisa menebak apa alasannya.
Galih masih memiliki rasa pada Dara, walaupun pria itu mungkin tidak menginginkan rasa itu ada di dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Mantan!
RomanceAndara Prameswari tidak pernah membayangkan akan bertemu kembali dengan mantannya di SMA. Apalagi dalam posisi sebagai seorang atasan dan bawahan. Aji yang dulunya kurus kerempeng dengan tinggi menjulang, terlihat ngenes dan menyedihkan, kini menjel...