DARA bangun dari tidur dan ia langsung mengecek ponselnya. Beberapa pesan masuk dia dapatkan dari orang yang sama. Galih, si mantan pacarnya.
Semalam, dengan sengaja Dara membawa Galih memutar ke arah jalan yang tidak bisa dilalui mobil agar pria itu menyerah mengantarnya pulang. Dia bahkan sengaja melajukan motornya lebih cepat agar dia bisa lari dari pengawasannya. Karena jujur saja, Dara merasa tidak nyaman melihat kelakuannya.
Walaupun dulu mereka memiliki sebuah hubungan, tapi sekarang hubungan mereka tidak lebih dari sekadar seorang atasan dan bawahan.
Dulu dia menerima pernyataan cinta Galih, karena dia merasa mereka berasal dari kalangan yang sama dan tidak akan menimbulkan masalah apa pun untuknya. Namun saat dia mengetahui kenyataannya, Dara cukup tahu diri untuk tidak terlalu berharap banyak padanya.
Lalu sekarang, sekali pun dia masih memiliki rasa yang sama seperti dulu. Bahkan jika Galih masih memiliki perasaan serupa dan menginginkan Dara untuk kembali ke pelukannya, Dara tidak semerta-merta bisa menerimanya.
Dara cukup tahu diri untuk tidak berharap lebih jauh dari ini.
Galih : Kenapa tidak menghubungiku?
Galih : Kenapa tidak menjawab pesanku?
Galih : Di mana kamu? Kenapa tidak bisa dihubungi?
Dara juga sengaja mematikan ponselnya semalam, agar dia bisa membuat alasan untuk menghindari bom pertanyaan Galih keesokan harinya. Namun sepandai-pandainya dia menghindar, pria itu pasti akan cepat sadar.
Galih bukan orang bodoh. Dia bahkan lebih peka dari kebanyakan pria di luar sana. Bahkan bisa dibilang, dia adalah sosok yang sempurna sebagai perwujudan dari sebuah pasangan.
Penuh kasih sayang dan cinta, orang yang selalu tenang dan tidak pernah egois pada pasangannya. Dia juga memiliki kekayaan serta pekerjaan yang mapan. Tidak ada cela. Dara yang terlalu biasa ini jelas tidak pantas untuknya.
Dara mengabaikan pesan itu dan mulai bersiap untuk berangkat kerja. Di ruang tamu, ibu dan adiknya sedang bersama. Ibunya terlihat lelah dan sangat tua. Di usianya yang hampir setengah abad, beliau masih harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan keluarga.
Lintang untungnya bukan anak manja ataupun anak tidak tahu diri yang suka membebani keluarga. Dia cukup mengerti keadaan keluarga dan membuatnya hidup dengan tidak banyak menuntut.
"Dara!" Panggilan ibunya membuat Dara mendekat.
"Iya, Bu?" Dara memilih duduk di samping ibunya. Raut wajah ibunya terlihat sedih, selayaknya dia tengah memendam beban berat yang tidak lagi sanggup dia pikul sendiri.
"Pekerjaan kamu bagaimana?" tanyanya sambil mencoba tersenyum. Namun, senyuman itu malah membuat Dara merasa hatinya tercubit.
"Baik, Bu. Masih seperti biasanya."
"Lalu, kenapa kemarin kamu bisa lembur sampai selarut itu? Kamu tidak sedang berusaha membohongi ibu, kan?" Ibunya terlihat khawatir dan sedih secara bersamaan.
Dalam hati Dara ingin memaki. Itu salah mantan pacar sialan yang ingin menahannya untuk tidak pergi. Walaupun demikian Dara menahan diri untuk tidak mengatakan apa pun pada ibunya saat ini.
"Karena minggu depan aku mau cuti, jadi aku harus menyelesaikan semua pekerjaanku dalam dua hari terakhir. Mungkin hari ini aku akan pulang malam lagi," jelasnya.
Dia tidak sepenuhnya bohong pada ibunya. Dia hanya menutupi soal mantan pacarnya yang sekarang menjadi atasannya. Selain itu, dia mengatakan yang sebenarnya.
Dara tersenyum pada ibunya, berharap ibunya akan berhenti khawatir padanya. Dia juga mengatakan kalau dia sudah mendapatkan izin cutinya, walaupun Galih belum menyetujuinya kemarin malam, dia tidak peduli. Dara akan tetap pergi sekalipun dia tidak mendapatkan izin cuti.
"Jadi seperti itu." Ibunya menghela napas lega. Dia menatap Lintang yang kini mengangguk padanya. "Semalam ibu bicara sama Lintang, sebelum kamu pulang."
Dara mengerjap. Dia menoleh ke arah Lintang yang hanya diam dan memilih menundukkan kepalanya. "Bicara soal apa?"
"Kami sepakat untuk tetap tinggal di desa setelah acaranya selesai. Kakek dan nenekmu sudah tua, tidak ada sanak keluarga yang dekat selain ibu. Jadi ibu memutuskan untuk kembali dan menemani mereka."
Dara mengerjapkan kedua matanya. Dia baru mendengar hal ini. Kenapa sangat tiba-tiba sekali?
"Apa hanya karena alasan itu?" Dara menatap ibunya curiga.
Ibunya tersenyum, tapi air matanya turun membasahi pipinya. "Alasan lainnya karena ibu sudah dipecat kemarin, Dara. Biaya hidup di sini terlalu mahal untuk kita. Biaya sekolah adikmu juga akan menjadi semakin mahal lagi ke depannya. Ibu tidak mau kamu terbebani, jadi kami sepakat untuk kembali. Hidup sederhana di desa tidak akan seburuk hidup di tempat ini."
Dara menelan ludah susah payah. Dia sudah membayangkan masalah ini sejak ayahnya meninggal sembilan tahun lalu. Biaya sekolah memang mahal. Bahkan dulu Dara sudah berniat putus sekolah, tapi ibunya tidak mengizinkan. Alhasil dia berusaha keras agar bisa mendapat beasiswa.
Sekarang semua ketakutannya terjadi. Ibunya tak lagi memiliki pekerjaan di sini. Namun hidup terus berjalan dan biaya selalu diperlukan. Masalah uang memang biasa terjadi, terutama bagi mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Namun tetap saja, Dara menyesali semua yang terjadi padanya.
Andai dia lebih berguna. Andai dia bisa mendapat posisi yang lebih luar biasa dengan gaji yang lebih menjanjikan semua ini pasti tidak akan pernah terjadi pada keluarganya.
Tanpa sadar Dara sudah menitikkan air matanya.
"Jangan menyalahkan diri. Ini bukan salahmu. Semua ini sudah takdir untuk keluarga kita." Ibu menatap Lintang layaknya sedang meminta persetujuan. "Lintang juga tidak keberatan pindah. Dia baru mulai sekolah tahun ini. Pindah sekarang tidak akan menjadi masalah berarti untuknya."
Dara menatap adiknya. "Kamu yakin mau ikut ibu ke desa? Kalau kamu mau, kamu bisa tetap di sini. Biar kakak yang mencari uang untuk biaya sekolahmu."
Lintang tersenyum tipis pada kakaknya yang sedang menangis. "Tidak apa-apa, Kak. Lintang juga tidak punya banyak teman di sekolah."
Lintang memasang ekspresi terluka yang membuat Dara merasa curiga.
"Kamu tidak sedang berbohong, kan?"
Lintang menggelengkan kepala. Dia tidak bisa mengatakan alasan sebenarnya di depan ibu dan kakaknya atau mereka akan menyalahkan diri lebih dari ini.
Kondisi keluarga yang sulit membuat Lintang merasa rendah diri. Dia tidak punya banyak teman, bahkan kebanyakan dari mereka selalu mengucilkannya. Dia bisa saja menjadi korban perundungan andaikan Dika tidak ada di sana dan menjadi tameng yang selalu melindunginya.
Namun sekuat apa pun Dika melindunginya, lama kelamaan Lintang merasa tidak enak juga. Dia seperti beban bagi keluarga juga Dika yang selalu baik padanya.
"Kalau kalian setuju untuk pindah, aku akan ikut dengan kalian." Dara memutuskan, tapi ibunya langsung memegangi tangannya.
"Jangan lakukan itu. Kamu punya pekerjaan yang baik di sini. Cicilan rumah ini sebentar lagi juga selesai. Ibu sangat berharap kamu bisa melunasinya."
"Tapi—"
"Selain itu, kamu juga selalu memberikan sebagian penghasilanmu pada ibu, kan? Untuk sementara ibu tidak bisa bekerja. Kalau kamu juga tidak bekerja, lalu bagaimana kita ke depannya?"
Dara tersenyum pedih. Apa yang ibunya katakan memang benar. Gajinya memang cukup banyak untuk membantu melunasi cicilan rumah juga membantu keuangan keluarga. Kalau ibunya sudah tidak bekerja, maka penghasilan utama ada padanya.
Jika dia ikut berhenti bekerja, mereka benar-benar tidak akan punya apa-apa.
"Baiklah, Dara akan tinggal di sini."
Ibunya tersenyum sembari membelai punggungnya. "Anggap saja ini latihan agar kamu bisa mandiri dan mulai menabung untuk masa depanmu nanti."
Dara tidak benar-benar ingin memikirkan masa depannya. Terus bekerja dan membantu keluarga seumur hidupnya terdengar lebih baik daripada pergi mencari pacar atau calon suami yang mau menikah dengannya.
____
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Mantan!
RomanceAndara Prameswari tidak pernah membayangkan akan bertemu kembali dengan mantannya di SMA. Apalagi dalam posisi sebagai seorang atasan dan bawahan. Aji yang dulunya kurus kerempeng dengan tinggi menjulang, terlihat ngenes dan menyedihkan, kini menjel...