SEMENJAK hari itu, Galih menjadi atasan yang suka uring-uringan. Masalah kecil sekali pun akan menjadi besar jika berurusan dengannya dan hal itu benar-benar menyebalkan.
Dara tahu, mungkin semua itu karena salahnya. Namun, dia tidak merasa telah melakukan kesalahan apa-apa. Dia mengatakan apa yang seharusnya dia katakan, karena Galih memang tidak punya hak untuk mengetahui apa pun tentang urusan pribadinya. Sekalipun pria itu sekarang adalah bosnya.
Harusnya Galih mengerti itu, karena status hubungan mereka bukanlah sepasang kekasih lagi seperti dulu. Namun nyatanya, Galih masih seperti itu selama beberapa hari terakhir."Gue lama-lama pengen resign aja dari sini," gumam Agus yang kini meletakkan kepalanya di atas meja kafetaria, bersebelahan dengan makanan pesanannya yang tak kunjung disentuh sejak tadi.
"Kenapa lagi lo?" Farhan sontak berkomentar.
Dia tahu Galih belakangan ini memang suka naik darah, tapi harusnya itu sudah biasa bagi para bawahan seperti mereka. Apalagi kalau memang merekalah yang salah, omelan atasan sudah seperti ceramah harian.
"Dia nggak profesional banget, Han. Masalah pribadi dibawa ke kerjaan. Lo sadar nggak sih dia jadi kayak gitu gara-gara omongan Dara tempo hari?" kata Agus terang-terangan yang membuat Dara mengangkat kepala dan menaruh perhatian pada teman-temannya.
"Terus lo mau Dara minta maaf ke dia gitu?" Farhan langsung mengambil inti masalahnya.
"Eh enak aja, Dara nggak salah tahu! Dia udah bener dengan jawab kayak gitu. Pak bos aja yang terlalu baper orangnya," sela Dira yang tidak terima kalau sampai Dara disuruh minta maaf pada Galih.
"Nah makanya itu, daripada gue kena imbas terus gegara mereka berdua punya masalah di kantor, mending gue resign aja dari sini, kan?" Agus menambahkan alasannya.
"Daripada lo yang resign, mending gue aja yang pergi." Dara menimpali. "Biar gue nggak ngelihat muka dia lagi setiap hari."
Ketiganya sontak meringis mendengar jawaban Dara. Mereka tidak ada yang tahu, alasan apa yang bisa membuat hubungan Dara dan Galih dulu berakhir.
Namun jika dipikir lagi, sembilan tahun lalu itu pasti saat-saat keduanya masih SMA dan cinta anak remaja kebanyakan adalah cinta monyet yang tidak akan bertahan lama.
"Ra gue penasaran, lo pernah ngerasa benci banget sama dia, nggak?" tanya Dira. Dia cukup khawatir kalau dulunya Dara pernah diselingkuhi oleh Galih, makanya Dara memilih untuk mengakhiri hubungan mereka.
Namun, interaksi keduanya tidak terlihat layaknya mantan pacar yang salah satunya pernah diselingkuhi. Bahkan Galih yang sepertinya punya rasa marah lantaran hubungan mereka berakhir.
Apa malah kebalikannya? Dara yang selingkuh dari cowok sekelas Galih?
"Enggak. Kita putus baik-baik kok." Dara memutar bola matanya, mencoba mengingat apakah mereka memang mengakhiri hubungan itu secara baik-baik.
"Hmmm yang bener?" Agus menatapnya penuh selidik. Dia terlihat jelas kalau tidak percaya pada kata-kata Dara kalo ini.
"Mungkin, menurut gue perpisahan kita waktu itu cukup baik. Gue juga udah minta maaf karena udah mutusin dia waktu itu. Jadi harusnya masalah kita udah clear." Dara menerangkannya.
Farhan mengernyit. "Kalian putus gegara apa?"
"Dia mau kuliah ke luar negeri dan gue nggak siap harus LDR." Dara tersenyum tipis.
Ketiganya langsung mengerjap. Alasan itu cukup sederhana, tapi efeknya sangatlah dalam jika mereka sudah cinta mati. Dan jika perkiraan mereka benar, Galih masih menaruh hati pada Dara bahkan setelah sembilan tahun terlalui.
Namun, Dara sepertinya tidak seperti itu. Dia cantik, menarik, dan fisiknya sanggup membuat pria mana pun tertarik. Dara memang cukup jutek, tapi bukan berarti dia tidak enak diajak berteman.
Seperti halnya Agus dan Farhan, mereka berteman baik dengan Dara. Jangan lupakan sosok asing yang meminjamkan jaket pada Dara tempo hari, jelas akan menjadi salah satu teman pria baru dalam hidup wanita itu.
Dara mengeluarkan ponselnya yang tiba-tiba saja bergetar. Sebuah pesan masuk dari Gilang. Sejak kemarin Dara memang mengajaknya bertemu untuk mengembalikan jaketnya, tapi pria itu selalu beralasan sibuk.
Dara berinisiatif untuk datang ke bengkel saja, tapi Gilang bilang dia sedang tidak bekerja. Hanya ada teman-temannya yang berjaga. Dara tidak enak juga menitipkannya pada mereka, karena dia tidak bisa berterima kasih padanya secara langsung.
Gilang: Lo hari ini pulang jam berapa?
Adalah isi pesan yang diterimanya. Dara sontak mengernyitkan dahi. Apakah Gilang berniat menghampirinya sore ini?
"Siapa, Ra?" Agus bertanya dengan wajah kepo. Jarang-jarang sekali Dara melihat ponselnya seperti itu.
"Kepo lo," jawab Dara sambil tergelak saat melihat Agus tampak menahan emosi.
Dara: Agak sorean. Lo udah kerja hari ini, kenapa nggak bilang-bilang? Biar gue samperin ke bengkel buat balikin jaketnya.
Gilang: Nggak usah, biar gue aja yang ke sana. Sekalian gue mau ketemu orang di tempat kerja lo.
Dara mengernyitkan dahi, siapa yang mau ditemui Gilang di sini?
Dara: Yaudah kalau gitu. Gue tunggu di dekat gerbang masuk kantor gue nanti sore, ya?
Gilang: Oke.
Mereka bertiga ternyata sejak tadi fokus menatap Dara. Tampangnya jelas sedang bertanya-tanya. Dira langsung mendekati Dara dan bertanya padanya.
"Siapa?"
"Orang yang udah minjemin gue jaket waktu itu. Udah dari kemarin-kemarin gue mau balikin jaketnya, tapi dia berhalangan mulu. Banyak banget alesannya. Terus tadi bilang, katanya dia mau nemuin orang di kantor ini, jadi sekalian aja gitu."
"Ohhh!" koor mereka semua kompak.
"Nemuin siapa?" tambah Dira kemudian.
"Mana gue tahu," jawab Dara dengan raut wajah dongkol.
Dira rasanya ingin menggigit wajah Dara yang memang suka cuek dan abai pada hal-hal seperti itu. "Ya makanya ditanyain lah, Ra, kalau lo nggak tahu!"
"Males kepo, toh bukan urusan gue juga, kan?" Dan respon itu berhasil membungkam mulut mereka bertiga.
Mereka sempat mengira Dara sudah punya pacar atau teman dekat pria yang akan mengarah ke sana, tapi sepertinya dugaan mereka semua salah. Dara tetaplah Dara. Dia tidak pernah serius bisa tertarik pada seorang pria.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Mantan!
RomansaAndara Prameswari tidak pernah membayangkan akan bertemu kembali dengan mantannya di SMA. Apalagi dalam posisi sebagai seorang atasan dan bawahan. Aji yang dulunya kurus kerempeng dengan tinggi menjulang, terlihat ngenes dan menyedihkan, kini menjel...