• 19 •

4K 346 8
                                    

UNTUK orang-orang kantor, terutama mereka yang menjadi atasan Dara, nomor ponselnya bukan sebuah rahasia. Hanya perlu alasan biasa dan pihak kantor pasti memberikan nomor ponsel tanpa perlu izinnya.

Namun alih-alih meminta langsung pada pihak kantor, Galih malah meminta langsung darinya. Apa yang pria itu mau sebenarnya?

"Bakal lembur nih kayaknya, Ra?" Dira bertanya saat Dara masih berkutat dengan layar komputernya.

Dara tersenyum masam. "Iya, terpaksa."

Dara sebenarnya juga tidak mau lembur, tapi pekerjaan di mejanya terlalu banyak untuk ditinggalkan dan dilanjutkan besok. Terlebih minggu depan dia akan cuti, meninggalkan pekerjaannya begitu saja jelas akan mempersulit izin yang bakal dia perlukan nanti.

Izin ya ... apa Galih mau memberinya izin itu?

"Omong-omong, lo udah dapat izin dari Pak Bos belum?" Dira bertanya dengan raut wajah penasaran.

Jelas saja, Dara berada di ruangan Galih terlalu lama tadi. Itu berarti mereka berdebat cukup lama di sana. Kalau Dara belum juga mendapat izin yang harusnya sudah dia dapatkan, sepertinya Dara akan mengalami beberapa kesulitan.

Senyuman Dara menjadi semakin masam. "Belum, semoga aja dia udah ngikhlasin gue buat pergi selama beberapa hari besok."

Dira berdeham pelan. "Sebenarnya gue punya sebuah saran biar dia mau tanda tangani berkas cuti lo itu, Ra," katanya.

Dara mengernyitkan dahi dan menatapnya penasaran. "Apa?" Mungkin saja dia memang memerlukannya, karena tidak mudah berurusan dengan mantan pacarnya itu.

Dira mendekatkan wajahnya untuk berbisik di telinga Dara. "Saran gue emang nggak etis, tapi gue saranin lo buat cium dia sekali dua kali. Gimanapun juga dia mantan pacar lo dan alasan dia masih nahan cuti lo sekarang karena dia nggak mau pisah dari lo. Jadi ya ...."

Dira menjauhkan kepalanya untuk melihat reaksi Dara yang kini sudah melotot tajam padanya. "Gila lo, ya!"

"Nggak apa-apa kali, sekali kali, nggak dosa juga sama mantan sendiri!" Dira mengedipkan sebelah matanya menggoda, lalu terkikik pelan setelahnya.

Dara hanya bisa memelototinya, sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.

"Gue penasaran, gimana reaksi dia kalau lo beneran lakuin itu, ya?" Dira menatapnya penuh makna, sepertinya perempuan itu sangat penasaran sekali dengan reaksi seorang Galih yang dicium Dara secara tiba-tiba.

Namun tentu saja Dara tidak mungkin melakukannya. Dicium lebih dulu oleh Galih saja bisa membuatnya pingsan, lalu bagaimana ceritanya dia bisa mengambil inisiatif duluan?

Padahal tadi cuma ciuman biasa, hanya saling menempel saja, tapi saking syoknya Dara sampai kehilangan kesadarannya.

Lalu bagaimana kalau Dara yang mencium Galih lebih dulu dan Galih menyambut ciumannya itu dengan penuh nafsu? Yang ada dia bisa mati berdiri tanpa tahu malu.

"Nggak akan gue lakuin, urat malu gue masih ada di tempatnya. Gue bukan Felicia yang bisa nyium siapa aja seenaknya."

Dara langsung membungkam mulutnya sambil melirik sekitar dengan waspada, berdoa dalam hati semoga Galih tidak mendengar kata-katanya barusan.

Bagaimanapun juga Galih dan Felicia dekat. Bahkan mungkin saja mereka sedang menjalin hubungan sekarang. Namun kenapa Galih malah menciumnya tadi siang?

Berengsek!

Jangan bilang setelah sembilan tahun tidak pernah bertemu dengannya, pria itu jadi seorang bajingan berengsek yang suka memainkan perasaan perempuan?

"Iya, sih. Kalau lo kayak Felicia yang semuanya diembat sama dia, udah gue tendang lo keluar dari sini terus gue suruh masuk rumah bordil aja!"

"Kata-kata lo kejam banget, Ra, sumpah!" Dara bergidik mendengarnya.

"Ya gimana, kelakuannya kayak jalang gitu, ngapain coba masih kerja di sini? Mending di rumah bordil aja, banyak temennya," sahut Dira berapi-api.

"Mulut lo itu kalau ngomong bisa dipelanin dikit, nggak?" Agus berdiri dari kursinya. "Kalau ada yang denger terus lapor, lo bisa dapat SP satu, tahu rasa sendiri lo ntar!" peringatnya.

"Apa lo!"

"Mending lo sekarang diem aja dan siapin jantung lo baik-baik buat nerima lamaran gue minggu depan," katanya serius pada Dira. "Gue duluan ya, Ra. Jangan takut sendirian di sini. Kalau ada yang aneh cari Pak Bos aja di ruangannya, dia belum pulang, kan?"

"Belum kayaknya, gue nggak terlalu merhatiin ruangan dia dari tadi. Hati-hati di jalan, Gus!"

Agus hanya menjawab dengan anggukan, meninggalkan Dira yang kini tampak berlinang air mata yang berusaha dia tahan sekuat tenaga.

Dara memperhatikannya. "Lo kenapa, Ra?"

"Dia beneran serius mau lamar gue, Ra?" Dira merasa air matanya hampir saja jatuh. Sungguh, niatnya hanya bercanda saja, tapi Agus tampak serius sekali dengan candaannya.

Bahkan candaan itu sekarang sudah dijadikan bahan ancaman yang terdengar amat mengerikan di telinganya. Sepertinya selama seminggu ke depan, dia bakal menderita di bawah tekanan dan penderitaan tentang lamaran Agus yang penuh keseriusan.

Dara hanya bisa membelai pundaknya dengan lembut. "Yang sabar, ya! Gue cuma bisa doain kalian berdua bahagia ke depannya."

"Sialan, ternyata lo juga setuju gue dilamar sama dia!"

Dara hanya tersenyum tanpa dosa. Dira yang kesal pun berbalik dan meninggalkannya sendiri. Farhan dan rekan kerjanya yang lain sudah pergi sejak tadi. Dira juga sudah selesai, hanya saja dia masih mau menemani Dara yang pekerjaannya tak kunjung usai.

Ponsel Dara tiba-tiba saja bergetar, sebuah pesan dari nomor tak dikenal tiba-tiba saja masuk ke ponselnya.

+628xxxx : Jangan pulang dulu, aku masih mau ngomong sama kamu.

Dara mengernyitkan dahi. Siapa yang mengiriminya pesan ini? Jangan bilang dari Galih, mantan pacarnya? Serius?!

Dear, Mantan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang