"KAMU benar-benar menjadi terlalu percaya diri, ya?" Dara mendengkus pelan. "Aku tidak menangis karena kamu."
Dara menepis tangan Galih yang sejak tadi menyentuh matanya layaknya hendak menghapus jejak air mata di sana. Padahal dia tidak sedang menangis. Matanya memang merah dan sedikit bengkak, tapi itu terjadi bukan karena dia menangisi pria yang berdiri di depannya saat ini.
Galih menatapnya curiga. "Benarkah? Jangan coba-coba membohongiku, Dara. Aku tidak menyukainya."
"Buat apa aku melakukannya?" Dara menghela napas lelah. "Tidak ada untungnya membohongimu, karena kamu sudah tahu semua rahasia yang kusimpan rapat selama ini."
Benar, jika dia memang ingin membohongi Galih, dia tidak akan mengakui apa yang terjadi di masa lalu. Dia juga tidak akan mengaku soal keraguannya untuk menerima Galih kembali menjadi kekasihnya. Dia hanya akan menolak dan menghindar tanpa memberinya penjelasan apa-apa.
"Kalau begitu, apa yang sudah membuatmu menangis? Jika dilihat dari keadaannya, kamu baru saja menangis beberapa saat yang lalu. Apakah itu terjadi sebelum kamu berangkat kerja?"
Galih tidak keberatan jika Dara mau jujur kalau dialah penyebab perempuan itu menangis pagi ini. Karena bagaimanapun juga dia seorang pria berengsek yang sudah menyakiti Dara berulang kali semenjak dia kembali.
Dia bahkan memaksa Dara melakukan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, hanya karena Galih merasa butuh perhatian.
Dara menghela napas berat. "Aku tidak berniat mengatakan alasannya padamu."
Galih berdecak mendengar jawabannya. Dia memang orang yang sabar, dia juga orang yang cukup toleran, tapi lama kelamaan dia merasa kesal jika ada banyak hal yang sengaja disembunyikan.
Dara selalu berusaha menyimpan rapi semuanya sendirian. Padahal tak ada salahnya jika cerita itu dibagi padanya. Galih bisa menjadi pendengar yang baik. Dia juga bisa mengulurkan tangan jika Dara membutuhkan bantuan. Dia tidak akan pernah menutup matanya, karena dia sangat mencintai Dara dari lubuk hati terdalam miliknya.
"Kenapa kamu selalu berusaha menutup dirimu sebaik itu? Apa kamu tidak butuh satu pun teman yang bisa meringankan beban di pundakmu?" tanyanya, tanpa bisa menyembunyikan kekesalan di balik nada suaranya.
Dara tersenyum mendengar jawabannya. "Baiklah, kalau begitu aku akan menceritakan masalahnya padamu." Kemudian dia mulai menceritakan apa saja yang terjadi pagi ini pada Galih secara garis besarnya.
"Jadi, saat kamu kembali dari desa itu nanti, kamu akan mulai tinggal sendiri?" Galih mengernyitkan dahi. Dia tidak terlihat senang dengan kenyataan ini.
Tentu saja, dia belum pernah sekali pun dikenalkan pada keluarga Dara. Namun mereka malah memilih menetap di desa jauh yang tidak bisa tergapai oleh kedua tangannya.
Dara menganggukkan kepala. "Ya."
"Aku nggak setuju." Galih menggeleng tegas. "Kamu nggak boleh tinggal sendiri di sini. Itu tidak aman dan tidak baik untuk perempuan sepertimu."
Dara langsung melotot saat mendengar ketidaksetujuan pria itu. "Maksudnya nggak boleh gimana, ya? Aku nggak butuh persetujuan darimu buat tinggal sendiri di sini."
"Kamu memang nggak butuh persetujuan dariku, tapi kamu harus memikirkan risiko dan tingkat bahaya seorang perempuan yang tinggal sendirian, Dara. Ini ibu kota, apa pun bisa terjadi di sini, dan itu sangatlah berbahaya untukmu." Galih menggelengkan kepala, dia terlihat tegas menolak usulan tinggal sendiri dari wanita di depannya.
Dara berdecak pelan. Dia juga tahu itu. Tinggal bertiga dengan ibu serta adiknya yang semuanya perempuan saja bisa membuatnya gelisah setiap malam. Apalagi dia akan tinggal sendirian di rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Mantan!
RomansaAndara Prameswari tidak pernah membayangkan akan bertemu kembali dengan mantannya di SMA. Apalagi dalam posisi sebagai seorang atasan dan bawahan. Aji yang dulunya kurus kerempeng dengan tinggi menjulang, terlihat ngenes dan menyedihkan, kini menjel...