• 22 •

4.2K 373 20
                                    

PONSEL Dara tiba-tiba saja berbunyi. Nama adiknya yang tertera di layar tanpa sadar membuatnya menoleh ke arah Galih.

Galih mengernyitkan dahi. "Siapa?" tanyanya, raut wajahnya terlihat kusut layaknya dia tidak menyukai panggilan dari siapa pun itu.

Dalam hatinya Galih membatin, andai pelakunya Gilang, sepupunya sendiri. Galih akan merampas ponsel itu dan memakinya habis-habisan saat itu juga. Dia tidak peduli lagi pada hubungan saudara mereka, yang jelas dia harus memaki Gilang si bajingan itu sekarang.

Dara yang melihat ekspresi Galih pun memilih memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas seraya menjawab, "Adikku."

Galih mengerjap. Dia tidak tahu itu, karena Dara tidak pernah mengatakannya dulu. "Kamu punya adik?"

Kalau dipikir-pikir lagi, selama tiga tahun pacaran, mereka hanya menghabiskan waktu berduaan di perpustakaan untuk belajar mati-matian. Tentu saja itu berlaku hanya untuk Dara, karena Galih sudah terlalu pintar di usia remajanya.

Dara menganggukkan kepala. "Aku punya satu."

"Cewek atau cowok?"

"Cewek." Dara tersenyum tipis.

"Umur berapa?" Galih benar-benar terlihat penasaran sekarang.

Tentu saja, Dara sudah pernah bertemu dan bahkan mengenal orang tuanya, tapi dia belum pernah bertemu keluarga Dara sebelumnya. Hidup itu tidak adil. Galih sudah tahu itu, tapi tetap saja dia kesal sekali karena melepas kesempatan mengenal keluarga Dara sembilan tahun lalu.

"Dia baru masuk SMP tahun ini. Mungkin saja dia khawatir, karena aku belum pulang juga sejak tadi." Dara melirik jam yang ada dinding. Benar saja sudah hampir pukul sepuluh malam sekarang.

Galih tahu kode itu, tapi dia belum berniat melepaskan Dara malam ini. Apalagi tujuannya menahan Dara sampai sekarang belum tercapai.

"Kamu nggak mau pulang?" tanya Dara kemudian.

"Hm, masalah kita belum selesai."

Dara mengerjapkan kedua matanya. "Masalah apa lagi? Kalau soal izin cuti, kita bisa membicarakannya besok, kan?"

"Ya, tapi kita tidak akan bisa membicarakannya sesantai ini."

Galih merindukan kebersamaan mereka seperti ini. Dia sangat merindukannya sampai-sampai tidak mau melepaskan Dara malam ini.

Dara menghela napasnya kasar. "Aku tidak berani pulang lebih larut lagi."

"Aku akan mengantarmu."

"Dengan mobilmu? Lalu bagaimana dengan motorku?"

"Kamu bisa meninggalkannya di sini."

"Lalu bagaimana caraku berangkat ke kantor dan mengantar adikku ke sekolahnya besok pagi?"

Galih merasa sudut bibirnya berkedut mendengar semua balasan Dara pada setiap keinginannya. "Kamu terlihat semangat sekali menjawab semua kata-kataku, Dara. Kalau begitu kita percepat saja. Kamu mau pergi ke mana minggu depan?"

Dara menarik napas panjang, kemudian mengembuskan napasnya perlahan. Toh, tidak ada yang perlu dia sembunyikan lagi dari pria di depannya ini. Cepat atau lambat, Galih pasti akan tahu semuanya juga.

"Aku mau kembali ke kampung halaman kedua orang tuaku," katanya sebelum mulai menjelaskan. "Orang tuaku berasal dari desa, mereka ke sini untuk mengadu nasib dan untungnya berhasil walaupun susah payah."

Galih tersentak kaget. "Aku baru mendengarnya." Dia baru tahu kenyataan ini.

"Karena aku memang tidak pernah menceritakan masalah ini pada siapa pun."

"Jadi, kenapa kalian harus kembali?"

"Di desa tempat tinggal orang tuaku ada sebuah tradisi mengenang kembali kematian setiap setahun sekali. Aku kembali untuk itu."

Galih menyipitkan kedua matanya. "Kematian siapa?"

Dara terdiam cukup lama, raut wajahnya berubah menjadi pedih saat bicara, "Ayahku."

Galih terkejut. Dia tidak menyangka Dara sudah kehilangan salah satu orang tuanya. Apa karena alasan ini pula, Dara tidak datang mengantar kepergiannya ke Australia sembilan tahun lalu?

"Sejak kapan?"

Dara menatap wajahnya, bibirnya tersenyum pilu saat berkata, "Sembilan tahun lalu."

Hanya satu jawaban tapi Galih merasa wajahnya tertampar habis-habisan. Sembilan tahun lalu, saat dia pergi jauh, saat itu pula perempuan yang duduk di depannya ini mengalami masa-masa menyedihkan seumur hidupnya.

Bagaimana ... bagaimana bisa dia tidak tahu semua itu? Kenapa dia bisa tidak tahu apa-apa? Kenapa Dara tidak mau memberitahunya?

Minimal hanya untuk mengucap belasungkawa, kenapa Dara tidak pernah mengatakan apa pun padanya?

Apa karena Dara tidak pernah percaya padanya?

Tidak. Dara bukanlah orang seperti itu. Alasan yang membuat Dara tidak mau memberitahunya pasti karena dia tidak ingin membuat Galih memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya dia pikirkan.

Ditinggalkan oleh ayahnya juga ditinggalkan kekasihnya di saat bersamaan. Jika Galih tahu itu sejak awal, dia pasti akan membatalkan niatnya pergi ke Australia dan tetap menemani Dara di sisinya.

"Apa alasan kematiannya?" Entah bagaimana dia bisa menanyakan soal yang sejak tadi bersarang di tenggorokannya.

"Kecelakaan kerja." Dara tersenyum tipis sebelum membuang muka, menghindari tatapan mata Galih yang tengah berusaha menelanjanginya. "Dokter sudah berusaha sebaik mungkin, tapi Tuhan lebih menyayanginya dan memanggilnya pulang."

Dan sekali lagi pria itu mendapat serangan mematikan sekarang. Kecelakaan kerja dan dirawat oleh dokter, pastinya itu terjadi beberapa hari sebelumnya.

Jangan bilang, alasan kenapa Dara lebih memilih mengakhiri hubungan mereka karena pikirannya sedang penuh saat itu?

"Ra ...." Suaranya bahkan sudah tercekat sekarang.

"Tidak apa-apa, aku sudah lama merelakannya." Dara menatapnya, kemudian memasang senyum manis di bibirnya.

Galih menahan diri untuk tidak mencecarnya dengan pertanyaan, karena dia yakin sudah mendapatkan jawaban yang dia inginkan.

"Aku akan mengantarmu pulang sekarang."

"Tapi—"

"Hanya mengikutimu dari belakang, tidak ada masalah, kan?"

Dara tersenyum masam. "Ya."

Toh, Galih sendiri yang berniat membuang-buang bahan bakar kendaraannya.

___

Gak ada yang mau mampir ke cerita terbaruku, kah? 🤣😝

Dear, Mantan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang