| Sekotak Berdua |

20 3 0
                                    

Oke.

Gue sudah memutuskan untuk tetap berpura-pura gak tahu mengenai kejadian gendong-menggendong yang lalu. Toh, Pak Ruda juga gak tahu kalau sebenarnya gue udah bangun kemarin malam. Gue juga bisa berpura-pura kalau mama gak ngomong apa-apa masalah itu. Jadi, dengan pertimbangan bahwa kecanggungan gak akan terhindarkaan dengan gue yang tahu perihal tersebut, gue akan tetap berperilaku seperti biasanya. Disa Swastikana yang pura-pura ramah di depan guru merangkap tetangganya itu.

Keesokan harinya gue gak ketemu Pak Ruda sama sekali, baik sebagai muridnya di sekolah ataupun sebagai tetangganya. Hari berikutnya juga enggak. Fakta yang sangat gue syukuri karena walaupun gue sudah bertekad mau berpura-pura gak tahu, nyatanya gue gak pernah percaya diri dengan skill acting gue. Ya, kalau gue pintar acting mah gue gak akan ngambek sewaktu SMP karena guru lebih milih Bri ketimbang gue untuk meranin female lead di drama perpisahan kakak kelas kita dulu.

Pak Ruda baru memunculkan eksistensinya di depan gue di minggu berikutnya. Yang seharusnya memang begitu karena Senin merupakan jadwal dia untuk mengajar di kelas gue. Dia masuk dengan senyuman seperti biasa. Tapi gue merasa gak biasa karena senyum dia kelihatan beda. Pun rona wajahnya juga gak secerah biasanya. Pak Ruda sedikit pucat, kantung matanya juga terlihat lebih jelas dari biasanya. Kelelahan terpatri jelas, tapi senyum ramahnya belum juga luntur. Gue jadi penasaran, kira-kira kejadian yang seperti apa yang bisa menghapus senyuman Pak Ruda.

"Bapak sudah pegang nilai Ulangan Harian kalian." Pak Ruda berkata setelah mengucap salam beberapa detik yang lalu. Kami yang mendengarnya memberikan aksi beragam. Gue contohnya, yang dengan sepenuh kesadaran diri paham kalau nilai gue gak bakalan mencapai KKM, hanya mengerang lirih. Mediana disisi lain, sebagai pentolan kelas karena otak lumayan encernya—ya kalau encer banget sudah pasti dia berdomisili di kelas sebelah, sayang—cuma mesem-mesem doang karena tahu kalau seenggaknya dia gak perlu remedi kayak gue.

"Dari 25 siswa disini, yang lolos KKM Cuma 10 orang." Dia mengedarkan pandangannya seantero kelas. Berhenti sedetik lebih lama di iris gue. Serius, gue gak bohong dan gak berusaha ke-geer-an. Dia hanya mengedarkan pandangan secara random tapi pas ketemu iris gue, dia berhenti barang dua detik lalu bibirnya berkerut menahan geli.

Apa-apaan? Apa dia tahu kalau gue cemberut kayak gini gegara gue tahu gue gak termasuk ke dalam 10 orang beruntung itu? Kalau iya, asem banget. Padahal, kan, dia yang buat soal yang perlu dijawab dengan intelegensi tinggi itu.

"Dan sisa 15 orangnya seperti biasa, akan mengikuti remedi. Tolong dikerjakan sebaik-baiknya remedi ini nanti. Karena walaupun bapak cuma guru pengganti, tapi bapak yang bakalan masukin nilai kalian di raport. Dan bapak bukan termasuk makhluk kelebihan simpati yang bisa menaikkan nilai siswa karena faktor kasihan. So, silahkan belajar yang benar. Kita remedi di dua hari lagi setelah jam sekolah usai."

What the..

Kelas penuh erangan frustasi dari kami-kami yang tahu bahwa kami termasuk kedalam siswa yang harus remedi tersebut. Demi apa? Gue belum pernah menemukan guru yang mengambil jam tambahan hanya untuk remedi. Ini guru ganteng kok anah-aneh aja, sih.

"Kenapa gak minggu depan pas jam Biologi aja, pak?" Roni si murid paling ceplas-ceplos menyuarakan pertanyaan kami semua.

"Saya gak suka jam belajar saya dipotong hanya untuk memberikan kesempatan kedua kepada siswa-siswa yang tidak mengerjakan Ulangan Harian dengan benar. Kalau kalian tidak mau remedi, ya tidak apa-apa. Toh saya tidak rugi apa-apa."

Anjir. Nyelekit, bruh.

Gue baru tahu Pak Ruda punya sisi kayak gini. Selama ini yang gue tahu dia orangnya friendly banget ke murid-muridnya. Jadi gue mikirnya kalau cara ngajar dia gak bakalan serius-serius banget. Nyatanya? Duh, ini mah alamat gak tenang gue mikirin nilai Biologi gue.

INVERSION : ketika hati berbalik melawan logikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang