Jangan lupa voment, ya.
°•°•°•°
"Assalamualaikum." Gue mengucap salam dengan lumayan keras seperti biasa. Memberi tanda pada mama kalau gadis kesayangannya ini sudah kembali ke rumah. Tapi gak seperti biasanya, kali ini salam gue gak terjawab. Padahal gue yakin mama sudah pulang kerja melihat mobilnya suda terpakir di garasi tadi. Biasanya, kalau mama memang pulang lebih cepat dari gue seperti ini, mama bakalan duduk di ruang tamu sambil baca majalah fashion, menunggu gue pulang sekolah dan lalu mengajak masak makan malam bareng.
Langkah gue tetap gue bawa sembari celingak-celinguk mencari keberadaan mama. Gak lama kemudian, gue mendengar tawa mama yang membahana dari arah dapur, disusul suara tawa lain yang terrdengar lebih berat. Sontak, gue mengernyit. Dari suaranya kayaknya itu cowok, dan mama gak pernah bawa cowok masuk rumah sebelum ini kecuali tetangga, rekan kerja dan suami teman-teman arisannya yang kadang ikut nimbrung. Dan itu gak berdua dan gak pernah sampai dapur.
Dengan penasaran dan otak sinetron gue yang mulai bekerja, gue melanjutkan langkah menuju dapur. Masa iya mama punya pacar? Apa selama ini mama kesepian tanpa sosok pendamping sejak papa meninggal bertahun-tahun yang lalu?
Oh, bukan. Tentu saja. Bisa-bisanya gue berpikir begitu saat gue masih tahu betul kalau mama setiap malam sering melihat foto almarhum papa dengan tatapan sendu? Cowok itu bukan pacar mama. Atau iya, tapi gue aja yang ketinggalan berita? Tapi masa secepat itu, sih?
"Oh, hei, anak mama. Udah pulang? Kok gak salam tadi?" tanya mama begitu menyadari keberadaan gue. Gue gak langsung menjawab, tapi melirik dulu ke cowok di samping mama yang juga menoleh ke arah gue. Gue tersenyum sopan, yang dibalas dengan senyuman manisnya yang biasa. Mata gue bergulir cepat ke mama, gak mau menatap senyum tersebut lama-lama. Bahaya. Senyum kelebihan glukosa seperti itu selalu berbahaya untuk perempuan seperti gue.
"Tadi udah salam kok. Mama aja yang gak denger dan asik sendiri."
"Oh, ya? Ya udah. Sana mandi dan bantuin kami masak. Bertiga lebih baik daripada berdua." Dan dengan begitu saja mama kembali menghadap wajan diikuti cowok di sebelahnya.
Gue gak langsung beranjak begitu aja. Melipat tangan di dada, gue mengamati inteaksi mama dengan Pak Ruda. Mereka sibuk mengiris-iris entah apa sambil ngobrol seru. Dan sesekali tertawa. Gue bingung. Kok mudah banget buat Pak Ruda deket sama mama? Secara, gue gak mudah deket sama orang, apalagi secepet itu. Gue memiringkan kepala. Dan otak sinetron yang tadi sempet off kembali on. Gak mungkin kan mama naksir sama brondong? Ih, amit-amit. Gue bergidik ngeri sambil menutup mata membayangkannya. Namun, waktu mata gue kembali terbuka, gue malah bertemu tatap dengan sepasang mata itu.
Pak Ruda menatap gue dengan kernyitan dahi dan mangkuk di tangan. Kayaknya dia tadi berbalik untuk mengambil mangkuk dan melihat gue bertingkah gak jelas gini. Gue menunjukkan cengiran tak berdosa sebelum berjalan cepat ke kamar gue.
Lagian kenapa sih kok mereka bisa masak berdua begini?
>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Tangan gue masih sibuk dengan handuk yang gue pakai untuk mengeringkan rambut ketika suara notifikasi WA gue bunyi. Mengusap layarnya lembut lalu menggambar pola kunci, gue dibuat mengernyit melihat gak ada nama pengirim dan hanya ada barisan angka. Gak usah dibuka pun, gue udah bisa baca pesannya. Hanya sekedar tertulis "Disa?" disitu. Jari gue bergerak membuka profil akun tersebut dan dibuat kaget selanjutnya. Layar gawai gue sekarang sedang menampilkan foto seorang cowok yang sedang memakan buah apel sambil melihat kamera .
Aih. Ini imut banget asli.
Sebentuk senyuman langsung mengukir di wajah gue. Dengan cepat gue ketik balasan untuk Aga.
KAMU SEDANG MEMBACA
INVERSION : ketika hati berbalik melawan logika
General FictionKatanya, cinta ada karena biasa. Biasa ketemu. Biasa diperlakukan manis. Biasa dibikinin puisi. Atau bahkan hanya karena seterbiasa sarapan bersama. Jadi, ketika Disa Swastikana jatuh cinta pada Aga Nugraha yang selalu memperlakukannya dengan manis...