Gue suka baca novel romance, nonton film romance, dan drama Korea. Bukan sesuatu yang mengejutkan karena gue yakin hampir semua orang, apalagi yang seumuran sama gue pasti juga suka-well, drama Korea pengecualian, maybe. Serius, gue suka kok. Tapi, di saat yang bersamaan, gue membenci segala sesuatu yang berkaitan dengan romance. Bahasa gaulnya, gue punya love-hate relationship sama hal-hal berbau romance.
Alasannya bisa jadi terlalu personal. Bisa juga terasa general karena beberapa referensi bacaan dan tontonan gue pernah menjabarkan alasan yang sama: gue benci romance karena itu bikin gue lupa diri. Setiap novel romance, film romance, dan drama Korea dengan genre romance membuat gue menetapkan standar yang terlalu tinggi untuk kehidupan romance gue sendiri. Lupa bahwa mereka semua adalah fiksi yang probabilitas untuk terwujud di real life gue adalah dibawah 1%. Lupa bahwa gue gak seharusnya berekspektasi tinggi setelah mengetahui fakta tersebut. Lupa bahwa, satu-satunya akhir yang bakal gue temui adalah sakit hati. Sakit hati karena standar yang terlalui tinggi itu gak akan pernah terwujud.
Gue jadi gak tahu siapa yang patut disalahin. Para pencipta konten romance tersebut atau gue sendiri yang menetapkan standar yang terlalu halu itu? Yah, seharusnya sih, salah gue memang.
Waktu Bri tanya kenapa gue gak mau pacaran dan gue jawab emang gak pengen pacaran, gue gak bohong. Tapi itu bukan sepenuhnya kejujuran. Sebenarnya, gue gak mau pacaran karena gue takut standar halu gue tadi gak kecapai dan bikin gue kecewa sendiri. Masih mending kalau gue sepenuhnya menyalahkan ekspektasi gue sendiri, kalau gue mulai menyalahkan pasangan gue? Adilkah seperti itu? Tentu saja, enggak. Di samping itu, alasan utamanya adalah gue takut membuka peluang untuk seseorang mematahkan hati gue. Simpelnya, gue emang takut pacaran.
Ada satu karakter novel dan film yang sangat relate sama kehidupan romance gue. Lara Jean Covey dari To All The Boys I Loved Before. Saat Peter Kavinsky tanya hal serupa yang ditanyakan Bri ke gue, Largie bilang gini:
"So, love and dating? I love read about it, and it's fun to write about and to think about in my head. But, when it's real..."
Peter Kavinksy langsung menebak jawabannya sebelum Largie melanjutkan. Dia bilang, "Why? Is that scary?" And then yeah, Largie mengangguk mengiyakan. Terus dia bilang lagi seperti ini:
"Cause the more people that you let into your life, the more that can just walk right out."
Pertama kali gue denger quotes ini, gue langsung jleb banget karena gue menemukan diri gue sendiri dalam karakter Largie. Alasan kenapa kami takut juga mirip. Largie sakit hati banget waktu mamanya meninggal, dan gue sakit hati banget waktu papa meninggal. Rasa sakit ditinggalin orang tersayang itu mungkin separah-parahnya sakit yang bisa dirasa manusia. Gue sempat kehilangan diri gue sendiri dulu. Gue inget banget mama sampai nangis tersedu-seedu karena gue gak buka pintu kamar sama sekali selama tiga hari. Dalam rentang itu juga gue gak minat ngapa-ngapain, walaupun sekadar makan. Tubuh gue bertahan hanya karena gue cukup sadar kalau gue gak minum selama lebih dari tiga hari, gue bakal ikut menyusul papa. Sempat berpikir kalau itu bukan ide buruk, sampai gue ingat kalau mama gak punya siapa-siapa lagi selain gue disini. Dan akhirnya gue berhenti bersikap egois. Tapi luka akibat ditinggal orang tersayang bakalan membekas selamanya.
Sejak saat itu, gue berhati-hati banget urusan hati.
Jadi, ketika gue sama sekali gak bisa menyelami dunia mimpi padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul 2:27 pagi, sudah seharusnya gue wanti-wanti diri sendiri. Karena alasan gue susah tidur adalah eksistensi dua cowok beda generasi yang masih melalang buana di pikiran gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
INVERSION : ketika hati berbalik melawan logika
General FictionKatanya, cinta ada karena biasa. Biasa ketemu. Biasa diperlakukan manis. Biasa dibikinin puisi. Atau bahkan hanya karena seterbiasa sarapan bersama. Jadi, ketika Disa Swastikana jatuh cinta pada Aga Nugraha yang selalu memperlakukannya dengan manis...