|Sepertinya, semesta sedang bercanda sekarang|

43 5 0
                                    

Weekend. Kata yang menyenangkan bagi semua pelajar maupun pekerja yang hanya menikmati libur di hari Minggu. Termasuk gue. Seharusnya. Karena berbeda dengan weekend-weekend lain yang udah gue lewati selama tujuh belas tahun ini, weekend kali ini sama sekali gak gue antisipasi kedatangannya. Tadinya sih gak begini, tapi semua berubah ketika sehabis sarapan mama memberikan titah yang buat gue keselek seketika.

“Sa, bantuin tetangga baru beres-beres yuk. Kasihan loh. Bujangan gitu beres-beres sendiri. Mama yakin tadi malam dia belum sempat beberes. Jam sembilanan gitu kok datengnya.”

Untuk tiga detik setelahnya gue cuma diam, meresapi kata-kata mama. Lalu setelah sekali kedipan mata, gue dengan tegas menolak. Dengan alasan gue punya banyak tugas untuk dikumpulkan hari senin esok. Tapi mama tetaplah mama. Yang punya seribu satu jurus untuk mengalahkan adu argumen dengan anaknya. Katanya, gue masih punya banyak waktu dari siang sampai malam. Tapi, gue gak nyerah secepat itu. Gue bilang lagi kalau tugas gue banyaknya gak ketulungan dan mengharuskan gue ngerjain dari pagi. Tapi, sayang, dengan santainya mama suruh gue nyebutin tugas gue apa aja. Seorang Disa Swastikana bukanlah aktor andal yang pintar berbohong. Jadi, alih-alih menjawab gue malah cuma mengedip-edipkan mata cepat kebingungan. Karena nyatanya tugas gue untuk hari senin cuma pe-er matematika peminatan sebanyak dua biji dan gue udah selesaiin.

Dengan seringai iblis di wajah malaikatnya mama berkata lagi, “Kamu kira mama gak tahu tindak-tanduk kamu gimana kalau lagi bohong, Sa? Ini mama loh. Makhluk yang paling mengerti anaknya. Gak usah buang-buang tenaga bohong sama mama. Malah yang didapet dosa loh. Udah, ikut mama aja bantuin tetangga baru sebelah. Dapet pahala.”

Dan akhirnya, disinilah gue. Berdiri kikuk di depan pintu yang terbuka menampakkan sesosok pria jangkung berbadan atletis berkumis tipis yang harus gue akui memang tampan. Pria ini menatap gue dengan kening berkerut. Hanya sedetik. Karena di detik berikutnya bola matanya bergulir ke arah mama yang tadi sempat menyapa.

“Halo mas. Kenalin, kami dari rumah sebelah.” Mama menunjuk rumah kami yang berada di samping kanan rumah ini. “Saya Angelin. Dan ini anak saya..”

“Disa, kan?” pria ini memotong cepat. Matanya kembali terpancang di gue. Sekarang gantian gue yang mengerutkan kening kebingungan. Ternyata om—gue gak enak sebenarnya manggil begini, ini kenal sama gue juga? Tapi, kan..

“Loh? Kok udah kenal?” of course, mama juga sama terkejutnya sama gue. Bedanya mata gue gak membelalak sebesar mama. Gue jadi penasaran, teori-teori konspirasi seperti apa saja yang dipikirkan mama mengenai kenalnya om-om ini sama gue? Apa sama bobroknya dengan teori gue tentang Fira dan om-om ini?

Pria—gue masih bingung harus manggil dengan sebutan apa, di depan gue ini malah tersenyum. Astaga, kalau gue gak inget dia adalah om-om pedofil, mungkin gue udah meleleh melihat senyum manisnya itu. Serius, sayang, senyumnya manis banget. Matanya memang gak hilang, tapi sedikit mengecil kala senyumnya melebar dan menampakkan deretan gigi atasnya yang tersusun rapi. Harus gue akui, selera Fira dalam hal memilih klien memang gak main-main.

“Masuk dulu, Bu. Saya jelaskan di dalam saja. Gak sopan kalau ngobrol di depan pintu begini.” Om-om ini minggir sedikit dari pintu, mempersilahkan kami masuk. Mama langsung ngeloyor masuk diikuti gue yang sempat melemparkan senyum kikuk gue ke om ini saat melewatinya.

Kami duduk di sofa berwarna marun yang empuk. Sofanya di susun melingkar mengerumuni meja kaca bundar. Mata gue kelayapan kemana-mana. Mengamati rumah yang desainnya sama persis dengan rumah gue. Tapi tentu, susunan interiornya beda dari rumah gue. Apalagi setelah mengamati dengan lumayan seksama, dinding-dinding rumah ini masih kosong melompong. Mama benar, om ini belum sempat beberes. Bisa gue liat dengan jelas, di pojokkan ruangan berjejer berbagai kardus berbeda ukuran yang gue duga berisi perabotan dan interior yang bakalan menghiasi rumah ini nantinya. Satu-satunya yang sudah tersusun rapi hanyalah sofa yang kami duduki ini.

INVERSION : ketika hati berbalik melawan logikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang