Salah satu modifikasi dari K13 di sekolah gue yang pernah gue singgung sebelumnya adalah masalah full day school. Kebanyakan sekolah-sekolah yang menerapkan kurikulum yang dinamai dengan tahun menetasnya ini pasti menerapkan sistem full day school juga. Tapi sekolah gue gak. Untuk hari senin kita pulang jam dua lewat tiga puluh menit. Selasa, Rabu dan Kamis kita pulang jam dua tepat. Jum’at jam sebelas tepat dan Sabtu jam dua kurang lima belas menit. Jauh dari mereka yang pakai sistem full day school dan baru pulang sekitar jam empatan.
Salah satu alasannya kenapa sekolah memodifikasi sistem ini adalah, sekolah gue masih cukup kasihan dengan muridnya yang mungkin baru pulang maghrib kalau ikut sistem full day school karena masih ada kegiatan eskul sepulang sekolah. Apalagi, eskul di sekolah ini tuh banyak banget. Sebenarnya, eskul juga merupakan alasan terbesar kenapa prestasi sekolah ini bejibun. Karena setiap perlombaan rutin yang diikuti sekolah pasti ada eskulnya. Yang gue perlu acungi jempol adalah, bahkan masalah olimpiade saja sekolah mengadakan eskul rutin dan mendatangkan dosen yang kompeten sesuai bidangnya. Kami bisa bimbingan gratis ketika banyak anak olimpiade yang rela bayar mahal-mahal untuk bimbingan pivat.
Ini Kamis. Sepulang sekolah gue punya agenda eskul sastra. Gue cuma mengikuti dua eskul tahun ini—tahun lalu gue ikut lima dan gue teler, eskul sastra dan club Konstelasi Remaja, club pecinta astronomi. Baru-baru ini gue tertarik astronomi. Jadilah dua minggu sebelum ini gue mendaftar member baru di club tersebut. Berbeda dengan eskul sastra yang setiap minggu diadakan, setelah gue mendaftar club KR belum ada pertemuan satupun yang diadakan. Dari group WA gue tahu, katanya pembina club yang anak-anak panggil Pak Sirius lagi sibuk dan belum bisa ngajar. Gue bahkan gak tahu siapa Pak Sirius itu. Malas tanya juga, karena gak ada satupun anak KR yang gue kenal.Iya. Gue emang secuek itu.
Kaki gue melangkah lebar-lebar, mencoba bertarung dengan cepatnya jarum detik yang bertalu-talu masa bodoh di pergelangan tangan gue. Eskulnya dimulai jam tiga. Karena pulang pergi dari rumah ke sekolah gue hanya butuh tiga puluh menit, gue memutuskan pulang dulu—beberapa yang rumahnya lebih jauh memilih menunggu di sekolah. Sialnya, sebelum berangkat gue lupa letak kunci motor gue, dan mengharuskan gue mencarinya. Waktu yang dihabiskan untuk menemukan kunci motor gue yang nantinya ketemu di atas kulkas sekitar sepuluh menit. Perkiraan gue, jika gue berangkat di waktu tanpa interupsi kunci hilang, gue bakalan sampai sekolah tepat waktu. Dan ya, karena waktu keberangkatan gue molor dari perkiraan, akhirnya gue terlambat datang.
Di depan pintu ruang sastra, kaki gue berhenti. Pintunya terrtutup, tapi gue bisa denger suara Bu Zia yang sedang membacakan bait-bait puisi. Tangan gue gue angkat, melihat jam mungil yang bertengger disitu. Lima belas menit. Gue terlambat lima belas menit. Bu Zia itu satu spesies sama Pak Aldo. Makhluk yang sukanya nge-gas. Dari situlah gue dihinggapi rasa ketakutan sekarang.
“Terlambat juga?” suara bariton seseorang membuat gue terlonjak kaget. Dengan cepat gue menoleh ke sumber suara, tersekat di detik berikutnya.
Aga disini. Di depan gue. Dia pakai kaos hitam yang depannya berhiaskan lidah simbol Rolling stone, celana jins dan sepatu kets hitam. Tapi bukan penampilan dia yang bikin gue menahan napas seperti sekarang. Adalah cengirannya. Cengirannya yang polos bagai tanpa setitikpun dosa bener-bener berhasil menyihir gue. Ya Tuhan. Kuatkanlah jiwa hamba. Jangan selalu lemahkan hamba terhadap makhluk berjakun yang mempunya senyum sejuta watt seperti dia ini. Dan Pak Ruda.
Oh, no no no. kok malah nyasar ke dia? Disa. Disa. Disa..
Mungkin gue terlihat bodoh banget di depan Aga sekarang. Mengedip-edipkan mata dengan mulut tergeragap. Dia ketawa. Lalu bersuara lagi.
“Kenapa? Aku bikin kaget, ya? Sorry.”
Dengan susah payah gue berusaha menjawab. Bener-bener susah karena gue deg-degan dengan jarak terdekat yang pernah gue alamin sama most wanted boy di sekolah ini. Gak sedekat itu. Mungkin sekitar dua jengkal. Tapi tetep aja gue deg-degan. Ini Aga loh. Aga Nugraha.
KAMU SEDANG MEMBACA
INVERSION : ketika hati berbalik melawan logika
General FictionKatanya, cinta ada karena biasa. Biasa ketemu. Biasa diperlakukan manis. Biasa dibikinin puisi. Atau bahkan hanya karena seterbiasa sarapan bersama. Jadi, ketika Disa Swastikana jatuh cinta pada Aga Nugraha yang selalu memperlakukannya dengan manis...