Boleh minta votenya dulu, ga?
🥺🥺Tipe ideal.
Waktu awal-awal naik kelas XI, Bri tanya ke gue tentang tipe ideal gue. Katanya dia penasaran kenapa gue gak pacaran-pacaran selama dia kenal gue, sedangkan dia udah punya mantan tiga dan teman sekelas gue udah hampir semuanya punya pacar waktu itu.
"Emang kita harusnya pacaran kalau udah nemu orang yang persis sama kayak tipe ideal kita gitu?" tanyaku.
"Gak juga, sih. Tapi kalau udah ketemu yang pas kayak tipe ideal pasti lo pengen pacaran, seenggaknya. Gue heran aja kenapa lo betah jomblo sampai sekarang."
"Emang gak pengen pacaran." Jawabku malas.
Bri berdecak lalu menoyor kepala gue. Kebiasaan memang. "Terus selama ini udah ketemu sama tipe ideal lo? Kayak gimana sih tipe ideal lo tuh? Kepo deh gue."
Gue gak langsung menjawab karena gue belum punya jawabannya secepat itu. Waktu itu juga gue belum berpikir tentang tipe ideal gue kayak mana. Tapi gue juga perlu waktu lama juga untuk berpikir. Bukannya tipe ideal itu harusnya yang baik-baik? Dan sifat-sifat yang baik itu banyak, kan? Tinggal milih aja baiknya gimana.
"Ehm.. yang baik, pasti. Terus harus lebih pinter dari gue buat memperbaiki keturunan. Lebih tinggi dari gue-gak lucu, kan, kalau cowoknya lebih pendek? Tampang gak perlu ganteng-ganteng amat tapi juga jangan ancur-ancur amat, yang penting manner. Yang sholeh. Dan oh, wangi. Terus setia. Menghargai wanita. Bukan tipe otoriter. Terus... udah sih, gitu aja."
"Udah, sih, gitu aja? Apanya yang gitu aja? Ya jelas lah lo belum nemu tipe ideal lo kalau tipe lo aja harus sempurna banget kayak gini? Idih... alamat lo jomblo seumur hidup, sih, ini." Gantian gue yang menoyor kepala Bri. Enak aja jomblo seumur hidup. Gue memang gak pengen pacaran waktu itu-dan sampai sekarang-tapi bukan berarti sampai seumur hidup juga. Gue butuh penerus dan mama pasti butuh cucu untuk diuyel-uyel.
Waktu itu gue mikir, memang tipe gue terlalu sempurna, ya? Apa memang gak akan ada satupun cowok dari dunia ini yang bakalan setipe gue ini? Atau paling enggak, mendekati boleh lah. Dan memang sampai saat ini pun gue belum menemukan yang seenggaknya mendekati. Sampai...
"Disa gak apa-apa kalau kita berhenti sebentar di minimarket depan itu? Bapak haus, tadi rapatnya lumayan alot." Pak Ruda membagi atensinya antara jalanan di depan dan gue ketika bertanya begitu. Sedangkan gue menatapnya dengan berkedip-kedip karena gugup dengan punggung yang diluruskan dan kedua tangan di atas lutut. Berusaha duduk sesopan mungkin biar dianggap gak kurang ajar.
Dia menoleh lagi ke arah gue, kali ini lumayan lama. Mungkin menunggu jawaban gue yang gak kunjung keluar. Ya gimana, gue cuma takut kalau suara gue bergetar karena gugup. Akhirnya gue cuma mengangguk kaku dan dia malah tersenyum.
Haduh, bisa gak, sih, sehari aja gak senyum-senyum sembarangan gitu. Dan ini Pak Ruda kok wangi banget, astaga. Perasaan kemaren-kemaren dia gak sewangi ini. Gue gak tahu ini wangi apa, yang gue tahu, wanginya manis. Pengen gue peluk terus mengendus-endus wanginya ini. Tapi, no. Gue gak sekurang ajar itu dan gue gak suka skinship dengan lawan jenis yang berlebihan. Jadi, sejak detik pertama gue masuk mobil dia di depan toko alat tulis dekat sekolah gue-gak mungkin, kan, gue mau dia jemput di depan tempat penjemputan dan banyak siswa-siswi lain yang liatin-dan menghidu wangi yang candu banget ini, gue berusaha bernapas lambat-lambat, biar wanginya gak menggelitik saraf-saraf olfaktori gue.
Setelah Pak Ruda membuka pintu dan keluar, gue menghela napas panjang karrena terbebas dari wangi yang aduhai itu. Punggung gue juga gue lemaskan. Dekat-dekat Pak Ruda seperti ini memang gak baik bagi kesehatan mental dan fisik gue. Kedua mata gue menutup, pelampiasan dari rasa kantuk yang menyerang sejak kelas terakhir tadi. Kegiatan belajar mengajar selama lebih dari delapan jam tentu bukan perkara mudah. Maka, kala fisik sudah menyerah lelah, kantuk biasanya bakalan menyerang. Tentu gue gak berniat tidur sekarang. Hanya sekedar memejamkan mata sebentar. Telinga gue pertajam biar tahu kalau Pak Ruda udah balik dan sikap sopan gue juga harus balik.
KAMU SEDANG MEMBACA
INVERSION : ketika hati berbalik melawan logika
General FictionKatanya, cinta ada karena biasa. Biasa ketemu. Biasa diperlakukan manis. Biasa dibikinin puisi. Atau bahkan hanya karena seterbiasa sarapan bersama. Jadi, ketika Disa Swastikana jatuh cinta pada Aga Nugraha yang selalu memperlakukannya dengan manis...