|Mama, you did well|

42 4 1
                                    


Ada rasa aneh dan gak nyaman yang sedang mengrong-rong hati gue. Gue gak tahu kenapa atau punya dugaan apa penyebabnya. Rasanya kayak, gue tahu sesuatu bakalan terjadi dan gue juga tahu kejadian tersebut bakalan menyusahkan gue. Bukan menyusahkan secara fisik tapi menyusahkan dari sisi hati.

Demi mengusir rasa aneh ini, gue menggeleng-gelengkan kepala kuat-kuat sampai rambut gue berterbangan persis model iklan shampo. Bedanya rambut gue gak tergerai bebas sehingga gak menimbulkan adegan sedramatis itu. Melirik jam dinding di atas whiteboar di depan, gue mendesah lagi. Jam pelajaran fisika seharusnya sudah dimulai sejak lima menit lalu, tapi Bu Eriska, guru fisika kelas XI, belum muncul dari tadi. Memang, gue bukan murid rajin semacam penduduk asli kelas A, tapi gue butuh sesuatu buat mengalihkan pikiran gue saat ini. Dan bercengkrama dengan rumus-rumus fluida statis adalah hal paling potensial untuk itu yang bisa gue pikirkan sekarang.

"Kenapa, sih? Kok dari tadi kayaknya menghela napas mulu? There's something wrong?" Bri yang duduk di bangku depan gue mengalihkan atensinya yang sedari tadi menekuni ponsel pintarnya ke gue. Mungkin memang helaan napas gue terlalu keras sampai bisa di dengar Bri. Dahinya berkerut-kerut lucu, kebiasaanya kalau lagi mencemaskan sesuatu.

Gue menggeleng lemah sebagai jawaban diiringi senyum yang sama lemahnya. Memangnya gue harus jawab apa ketika gue sendiri gak punya jawabannya. Sepertinya Bri gak puas dengan jawaban ini, dia masih bertahan di posisinya yang sedikit miring ke belakang, menatap gue menyipit. Mungkin karena raut wajah gue yang datar-datar aja membuatnya gemas dan akhirnya berbalik sempurna ke belakang, menghadap gue.

"Apa sih? Biasanya juga lo cerita ke gue."

Lagi-lagi gue menggeleng. "Masalahnya, gue juga gak tahu ini kenapa, Bri sayang. Just like, something will happend and that might bothered me. But i don't know what and why. Aneh, kan? I know."

"Something happened before?"

Iya. Seharusnya ada kejadian khusus sebelum perasaan aneh ini membelenggu gue. Gak mungkin, kan, perasaan ini muncul tanpa ada pemicunya sama sekali? sayangnya, lagi- lagi gue gak menemukan kejadian yang di luar titel biasa sehingga bisa gue hubungkan dengan perasaan ini.

Lagi, gue menggeleng lemah sebagai jawaban. Kali ini Bri juga ikut-ikutan menghela napas. "Mungkin lo terlalu parnoan, Sa. Jangan terlalu dipikirin. Mending belajar biologi sana, PH bio lo jarang bagus soalnya."

Mata gue membelalak kaget. Bisa-bisanya gue lupa kalau hari ini ada penilaian harian. Astaga, goblok banget, sih, gue.

"No, no, no. Jangan bilang lo lupa kalau hari ini ada PH?" mata Bri sama terbelalaknya kayak gue. Agaknya ekspresi gue sekarang membuat dia berkesimpulan seperti itu, yang sayangnya benar.

Merengek pelan, Bri menoyor kepala gue lumayan keras. Oh, ya. Asem sekali kamu Briggita.

"Gila, lo. Ngapain aja sih kok bisa lupa. Astagfirullah, Sa. Mending gitu kalau otak lo encer cepat nyerap pelajaran. Lah ini, otak pas-pasan aja belagu." Hey, kalau perkumpulan laki-laki yang memuja Bri tahu betapa keanggunan Bri terkikis habis jika sedang begini, gue ragu seratus persen dari mereka masih bertahan. "Nih, baca catatan gue. Gue udah meringkas yang penting-penting aja dan mungkin keluar di soal. Baca bener-bener." Bri mengangkat tangan kirinya, melihat jam kecil yang mengalung cantik di pegelangan tangannya. "Waktu lo masih satu jam lagi, nih, kalau Bu Ris beneran gak masuk . Lumayan, sebelum Pak Ruda dateng bawa soal.

Seketika kesenangan gue yang tadi sempat muncul saat Bri mengasurkan catatannya menguar entah kemana. Senyuman lebar gue sebagai tanda terrima kasih kepada Bri tadi juga berrubah menjadi segaris lurus. Gue hampir lupa fakta ini. Bahwa sudah hampir sebulan ini guru biologi kelas kami digantikan oleh Pak Ruda untuk sementara.

INVERSION : ketika hati berbalik melawan logikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang