Happy reading semua :) Vote ya gak bayar kok :)
***
Bandar Udara Internasional Juanda.
Setelah menempuh perjalanan mendadak dari bali yang penuh dengan drama kini Ali sudah tiba di bandara surabaya sekitar pukul 10.30 siang. Tidak ada lagi waktu untuk bersantai ia harus segera pergi ke rumah sakit untuk melihat kondisi Tasya dan bayi mereka.
"Alkan, bisa cepetan nggak?" ujar Ali tak sabaran.
"Maaf, pak. Ini sudah paling cepat," jawab Alkan seadanya. Kalau mau cepat buat jalan sendiri, gerutu Alkan. Ia habis oleh dampratan Ali pagi tadi, bos nya itu tidak berhenti mengocehinya disepanjang jalan menuju Bandara Ngurah Rai.
Ali melirik arloji yang melingkar dipergelangan tangannya kemudian menghadap keluar jendela mobil. Surabaya panas hari ini dan jalanan juga cukup ramai. Ia mendesah lirih memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut banyak sekali hal-hal berat yang terjadi belakangan ini.
Tidak lama kemudian mobil sudah terparkir di rumah sakit. Mobil ini milik Ali yang ia tinggal di bandara sebelum ia berangkat ke bali. Sang pemilik sudah masuk dengan sedikit terburu-buru. Alkan menutup pintu mobil sambil mendengkus lalu menyusul Ali masuk ke dalam.
Langkah kaki Ali melambat, matanya memicing menatap seseorang disana. Tangannya mengepal dengan gigi mengatup rapat. Ia berjalan sedikit berlari menghampiri Tasya yang dirangkul seorang laki-laki berjas putih.
Bugh...
"Sial, jaga tangan lo."
Dokter yang membantu Tasya berjalan itu tersungkur di lantai bersamaan dengan jatuhnya Tasya yang tak kuasa menopang tubuhnya karena kakinya masih belum pulih.
"Tasya!" Ali mendekati Tasya dengan rasa bersalah.
"Kak Ali," lirih Tasya memeluk leher Ali, bahunya bergetar.
Ali memeluk Tasya, ia masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Matanya menyusuri tubuh sang istri, ia melihat perban di kepala lalu gips yang terpasang dikaki. Dokter yang tak bersalah itupun bangkit berdiri sambil memegang pipinya yang terasa kebas. Ia menatap kesal ke arah Ali yang asal main jotos.
"Kaki kamu kenapa, Ma?"
"Sakit, hiks ."
Ali mengangkat tubuh Tasya untuk masuk ke dalam kamar inapnya. Ia meletakkan tubuh itu diatas ranjang lalu menarik kursi untuk duduk di sampingnya. Untuk beberapa saat keadaan masih senyap, Ali hanya diam menatap Tasya yang masih sesegukan menangis.
Sampai suara gaduh terdengar Ali menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka. Ada Ayah mertuanya, Mama dan Papanya datang menjenguk dengan raut wajah panik.
"Ya ampun, gimana kondisi kamu, nak?" tanya Mama menggeser Ali agar menyingkir. Sial, dia saja belum berbicara dengan Tasya sudah disuruh menjauh. Memang dasar mamanya.
Tasya sudah berhenti menangis walau masih kentara jelas sisa-sisa air mata, "Tasya nggak papa, Ma."
"Nggak papa gimana, ini kaki kamu," ujar Mama menunjuk kaki Tasya.
"Mama udah tau pake nanya," sahut Ali bersedekap, sepertinya rasa kesal masih bersarang dihatinya.
"Kamu ini, makanya kalau pergi jangan lama-lama. Ini baru seminggu kamu tinggal udah kaya gini."
Ali membuang muka sedangkan Tasya merasa tertapar. Ia merasa tidak becus menjadi seorang istri dan ibu yang baik buat Danish. Anaknya celaka karena ia lalai, "Maaf, Ma." Lirih Tasya.
Mama menunduk, "Loh kok minta maaf, kamu nggak salah nak. Nggak papa ini semua musibah dari Allah, kamu harus ikhlas ngejalaninya." Tangan Mama mengusap bahu Tasya dengan lembut.
"Iya, kamu harus rajin minum obat biar cepet sembuh," tambah Ramli.
"Cucu Papa dimana sekarang?"
Semuanya saling pandang penuh tanya, kini tatapan tertuju pada Tasya. Ali juga baru teringat perihal anaknya, "Ma, Danish nggak papa kan?" tanya Ali pada Tasya.
Tasya menggeleng menahan tangis. Ali yang melihat itu mengusap wajahnya kasar. Mama menutup mulut menatap suaminya dan Ramli diam. Tak bisa dipungkiri hati Ali hancur. Ia mengatur nafas yang tiba-tiba memburu.
"KENAPA KAMU NGGAK BECUS JAGA ANAK KITA!" bentak Ali keras. Semua orang berjengit kaget termasuk Tasya yang langsung terisak. Tasya tak suka di bentak.
Bibir Tasya kelu, ia juga tidak tau kondisi Danish saat ini. Tadinya ia berniat melihat keadaan anaknya dibantu dokter yang menangganinya. Namun, Ali keburu datang dan langsung menghajar dokter itu.
"Ma-maaf ... hiks."
"Dimana jasadnya?"
Tasya menatap Ali tak paham. Jasad siapa yang suaminya maksud.
"DIMANA JASAD ANAK KITA?" Ali tidak bisa mengontrol emosinya, dadanya naik turun menatap Tasya tajam.
"Apa kamu bilang? DANISH MASIH HIDUP DAN DIA BELUM MENINGGAL! KAMU NYURUH ANAK KITA CEPET MATI, HAAAHH?" Tasya balas berteriak. Emosinya tersulut karena Ali menganggap anaknya sudah meninggal.
"Sudah, jangan berantem! ini rumah sakit. Kamu Ali istri masih sakit malah dibentak-bentak."
Ali menatap semuanya bergantian lalu melenggang pergi begitu saja. Ini tidak akan berakhir baik kalau Ali masih tetap berada di dalam. Kakinya berjalan disepanjang koridor dan mencegah salah satu perawat yang lewat.
"Dimana pasien atas nama Danish dirawat, Sus?"
"Ohh, kebetulan saya juga mau mengecek keadaannya. Mari saya tunjukkan," jawab perawat itu. Ali mengikuti langkahnya sampai tiba disebuah ruangan.
Akhirnya ia bisa menghembuskan nafas lega. Lega mengetahui anaknya yang baru berumur satu bulan masih hidup walau ada sedikit memar dibagian kepalanya.
"Anak Papa, apa kabarnya?"
"Maafin papa ya belum bisa jagain mama sama kamu dengan baik," kata Ali memegang jemari bayi kecilnya.
Ali berdiri memberi ruang perawat yang hendak memeriksa kondisi Danish, perawat itu bilang kalau Danish tidak apa-apa. Ada goresan kecil dibagian belakang kepala namun itu tidak sampai berefek buruk. Mendengar itu Ali mengangguk mengerti kemudian perawat itu meninggalkan ruangan menyisakan Ali dan bayinya. Ada beberapa box bayi disini tetapi tidak ada isinya dan Ali baru menyadari bahwa sebelum ia datang Danish berada diruangan ini sendirian.
"Pasti takut ya sayang sendirian."
___
Setelah dua hari dirawat di rumah sakit. Tasya sudah diperbolehkan pulang hari ini. Bersama Mama mertua dan juga Alkan yang mengantarnya pulang. Danish sudah berada dirumah sejak kemarin dengan begitu ia tidak bisa memberikan asi secara langsung. Terpaksa ia harus memompa asi lalu dimasukkan kedalam botol untuk dibawa pulang.
Ali tidak menjemputnya mungkin karena sedang bekerja. Sejak hari dimana mereka berselisih paham Tasya belum melihat sosok laki-laki itu. Sedih rasanya karena Ali tidak berada disampingnya. Tasya mengerti hari itu suaminya pasti lelah karena penerbangan dan langsung datang ke rumah sakit makanya emosinya tidak terkontrol.
Setelah sampai dirumah, Mama membantunya mendorong kursi roda yang sedang ia duduki. Kakinya sudah lebih baik tapi untuk berjalan lama rasanya masih lemas.
"Welcome home, mbak Tasya," sapa gadis dengan senyuman lebarnya. Tasya menatap Mama Diona sekilas lalu menatap lurus gadis itu. Siapa dia?
"Mbak nggak inget aku?" tanyanya dan Tasya tersenyum tak enak. Ia tidak ingat siapa gadis yang berdiri satu meter dihadapannya ini. "Ini aku Febi mbak, sodara kak Ali dari malaysia. Anaknya Tante lusi."
___
Ada yang inget sama febi? Ituloh yang pernah naksir Ali.
Vote yaa teman-teman, terima kasih sudah mau baca hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married Coz Money (ON GOING)
Romance[Mature Content 18+] Hanya demi kesenangan dan uang, Ramli tega menjual anaknya. Tasya, gadis malang yang kini harus menikah dengan seorang laki-laki yang telah membayarnya dengan uang senilai dua ratus juta rupiah, dan sungguh mengejutkan lagi tern...