XI

4.8K 284 10
                                    

Disclaimer
Boboiboy © Animonsta Studio

"He's Gone"
Angst | Hurt-Comfort
Chara : Blaze, Gempa
a story written by Zevuar
© June 2021

Gempa tidak tahu apa yang dilakukannya ini benar atau salah. Namun hati kecilnya seolah menolak untuk membenci oknum itu.

Gempa berlari melewati koridor sekolahnya yang tampak begitu sunyi kali ini. Hanya terdengar suara hentakan kaki yang memijak lantai dingin koridor itu. Gempa tidak peduli dengan dadanya yang sesak karena terus berlari tanpa berhenti sejak tadi. Kakinya pun sudah terasa begitu lemas. Namun, lagi-lagi Gempa tidak mengkhiraukannya sedikitpun.

"Seharusnya kau tidak perlu berlari. Kau tahu, aku akan selalu menunggumu di sini, Gempa."

Oknum itu tersenyum hangat kepada Gempa. Namun, entah mengapa hati Gempa terasa sakit melihat senyuman itu.

"Aze akan pergi jauh dari Gem, bukan?" lirih Gempa.

Matanya mulai berkaca-kaca. Dadanya semakin terasa sesak karena kekurangan oksigen ditambah perasaannya yang juga hancur karena takdir.

"Aku akan selalu bersamamu, Gem. Selamanya akan seperti itu," pemuda itu kembali tersenyum. Dia berjalan mendekati Gempa yang mulai menangis.

"Aku hanya tidak ingin kau sedih. Jadi, berhentilah untuk bertanya kepada mereka tentang sosok diriku ini. Berhentilah menyakiti dirimu sendiri, Gempa."

Banyak teman Gempa yang bertanya kepadanya mengapa dia sering sekali berada di area gudang sekolah sendirian. Namun, berulang kali Gempa berkata bahwa dia tidak sendirian di sana. Gempa selalu berkata bahwa ada seorang pemuda yang selalu menemani Gempa setiap harinya.

Namun, hari demi hari banyak siswa yang menatap aneh kepada Gempa. Banyak yang berkata bahwa Gempa berbicara sendirian di area gudang. Awalnya mereka berpikir ada seseorang yang tidak terlihat oleh mereka. Dan benar saja, mereka memergoki Gempa berbicara sendirian. Tidak ada pemuda yang selama ini diceritakan oleh Gempa.

"Aku hanya entitas penuh dosa. Aku tidak berhak berada disampingmu terlalu lama."

Pemuda itu kini memeluk tubuh Gempa yang semakin bergetar karena bersusah payah menahan tangisnya.

"J-jangan pergi! Gem mohon! Jangan pergi!" racau Gempa.

Pemuda itu hanya mengelus pelan punggung Gempa berharap agar sosok yang sedang menangis itu lebih tenang.

"Aku tidak pernah berharap bertemu denganmu dalam keadaan seperti ini, Gempa. Seharusnya, kita tidak pernah dipertemukan jika rasa sakit ini yang kuterima."

Pemuda itu menyeka air mata yang masih setia membasahi pipi Gempa. Wajahnya tampak teduh dengan diterangi cahaya rembulan itu.

"Aze, jangan pergi," lirih Gempa.

"Aku akan tetap pergi dengan atau tanpa seizinmu, Gempa. Aku telah melanggar tugasku dan menghabiskan waktu bersamamu sampai-sampai aku tidak sadar bahwa waktuku telah berakhir."

Pemuda itu tersenyum. Dia juga merasakan rasa sakit yang sama dengan apa yang dirasakan oleh Gempa. Baginya, ini kali pertama dia memiliki seorang teman dari ribuan tahun hidupnya di dunia.

"Kalau begitu, bawa Gem juga. Tugasmu untuk mencabut nyawaku, bukan? Bawa Gem juga!"

Gempa kembali menangis. Dia memukul pelan dada bidang pemuda itu seakan meluapkan segala emosinya. Dia tidak mau sendirian lagi di dunia yang kejam ini. Dia tidak ingin lagi berada di dunia yang bahkan tidak peduli akan adanya Gempa atau tidak.

Pemuda itu hanya menggeleng pelan. Dia tidak bisa lagi melakukannya--lebih tepatnya dia tidak mampu melakukannya. Seharusnya, pemuda itu bertugas mencabut nyawa Gempa saat pertemuan pertama mereka. Hanya saja, pemuda itu tidak bisa. Dia tidak mampu.

"Jangan menangis, hm. Kau harus kuat," bujuk pemuda itu.

"Kau akan meninggalkanku sendirian lagi, Aze. Gem akan sendirian lagi!"

Hati Gempa semakin hancur. Lebih baik dia menerima kematian yang telah ditakdirkan kepadanya. Seharusnya Gempa tahu, dia tidak bisa bersama dengan utusan sang Mahakuasa.

Pemuda itu hanya diam. Dia telah memutuskan untuk memberikan segalanya untuk Gempa. Mengorbankan dirinya demi kehidupan Gempa di dunia. Dan hari ini adalah hari yang telah dijanjikan. Pemuda itu akan ditiadakan oleh-Nya.

Dia melepaskan pelukannya. Sedikit demi sedikit mundur dan menjauh dari Gempa.

"Berhentilah menangis. Itu menyakitiku," kata pemuda itu pelan.

"Aze! Kau tidak mengerti! Gem selalu sendirian di sini. Dunia begitu kejam denganku! Orang-orang mencaci maki Gem karena Gem bukan orang yang berada! Jangan pergi, maafkan Gem! Jangan tinggalin Gem sendirian lagi."

"Aku sudah memastikan kebahagianmu di masa depan. Kau akan bahagia, Gem. Akan ada seseorang akan yang menggantikanku di sampingmu nanti. Percayalah, kau akan bahagia tanpaku nantinya."

Gempa semakin terisak melihat Blaze yang semakin menjauhinya. Gempa tidak sanggup dengan segala bentuk perpisahan. Dia tidak sanggup kehilangan sosok yang berharga baginya. Dia tidak mau Blaze juga ikut meninggalkannya sendirian lagi.

Namun, ini semua salahnya. Gempa yang menjadi alasan Blaze mengorbankan hidup abadinya demi kelangsungan hidup Gempa di dunia kejam ini. Ini semua salahnya!

"Hiks... bawa Gem hiks... juga. Gem... juga akan mati... hiks... nantinya. Bawa Gem juga!"

"Kita akan bertemu denganmu dalam keadaan yang lebih baik dari sekarang Gempa. Kita akan kembali bertemu di kehidupan berikutnya. Aku akan berdoa kepada-Nya agar aku dapat bertemu kembali denganmu."

Gempa tidak lagi banyak berkata. Seluruh sumpah serapah yang mungkin saja dia lontarkan kepada takdir seakan tidak bisa diucapkan lagi. Gempa tahu, dia akan selalu merasakan apa yang namanya kehilangan.

"Berbahagialah dan terus hidup untukku. Jangan bersedih karena harus berpisah dengan mahkluk penuh dosa sepertiku. Gempa, aku akan selalu menunggumu selamanya. Sayonara."

Sayonara

Sayonara

Sayonara

Sayonara dapat diartikan sebagai selamat tinggal, bukan?

Gempa kembali memanggil nama Blaze berulang kali. Tubuhnya bergetar karena dinginnya udara dan isakan tangisnya. Perasaannya semakin kalut karena sosok Blaze benar-benar menghilang dari pandangannya. Hanya raungan memilukan yang terdengar di antara sunyinya sekolah itu.

"KAU MENINGGALKANKU! KAU SAMA SEPERTI MEREKA!"

Tubuhnya jatuh. Dia tidak sanggup lagi. Kepalanya mendongak ke arah langit yang menampakkan rembulan yang bersinar begitu terang tanpa dihalangi oleh awan seakan mengejek Gempa yang sedang terluka kembali oleh kejamnya dunia.

Tidak ada lagi isakan tangis yang terdengar dari Gempa. Hanya senyuman sendu yang kini terukir di wajahnya.

"Terimakasih, dan selamat tinggal, Blaze."

Fin

|《¤》|

Sad story semakin di depan!😂

Jujur aja ini cerita awalnya untuk HaliGem wkwk. But, karena cerita oneshot di buku ini udah banyak tentang HaliGem, jadi Iky coba buat yang lain. Eh, kalau rada awkward maaf ya. Btw, tinggal Taufan sama Thorn yang belum pernah Iky buat jadi main chara oneshot di buku Chaos. Mungkin nanti kalau dapat ide bakalan Iky buatkan yaa.

Chaos - Oneshot Story | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang