"Ay, kenapa lu enggak terima aja ajakan nonton si Rian?" tanya Sarah pada Aya yang berjalan di depannya. Mencoba mensejajari langkah Aya.
"Enggak mau. Lu aja sana kalo mau nonton. Gue sih ogah!" balas Aya kesal. Kesal pada Sarah yang terus berusaha menjodoh-jodohkannya dengan Rian. Terlebih kesal pada Rian yang terus mendekatinya. Padahal ia sudah menolaknya lebih dari satu kali. 'Dasar muka badak,' batinnya.
"Kok gue? Rian kan sukanya sama lu, bukan sama gue," sergah Sarah.
"Tapi gue gak suka sama dia!!" ujar Aya setengah membentak. Ia sudah jengah dengan paksaan dari sepupunya itu.
"Karena lu masih gak bisa ngelupain perasaan lu sama Ditya, kan? Makanya sampe sekarang lu gak bisa buka hati lu buat cowok lain." Langkah Aya terhenti. Ia memang masih belum bisa menghilangkan Ditya dari hati, pikiran, bahkan dalam tidurnya sekali pun. Sangat sulit baginya.
"Gue bener kan?! Mana yang katanya lo mau move on?! Mana Aya yang udah ngerelain Ditya buat cewek lain?! Susah kan, Ay?! Gue cuma gak mau lo terus-terusan melihara perasaan cinta buat Ditya." Sarah mendekati Aya yang tengah tertegun, "Apa salah kalo gue mau sepupu yang paling gue sayang ini bahagia ngelanjutin hidupnya?" tanya Sarah mencoba menatap dalam mata Aya. Sementara yang ditatap malah menundukkan kepalanya.
"Gue tahu lu bukan orang yang gampang jatuh cinta gitu aja. Tapi seenggaknya akan lebih mudah kalo lu coba buka hati buat cowok lain." Sarah menyentuh bahu kanan Aya dengan tangan kirinya. "Gue yakin lu bisa, Ay. Jadi mulai sekarang, buka hati lu. Kasih kesempatan buat orang yang bener-bener sayang sama lu, siapapun itu," tambahnya. Aya mencoba tersenyum. Ada sedikit sesal dan rasa bersalah di hatinya telah membentak orang yang perhatian dan sayang padanya.
*****
Sebulan kemudian...
Aya mengerjap-ngerjapkan matanya ketika sinar matahari pagi menyelusup masuk ke dalam kamarnya. Sedikit mengganggu kenyamanan tidurnya.
"Anak gadis tuh gak boleh bangun siang, Aya!" seru sebuah suara yang Aya tahu persis siapa pemiliknya.
"Ngapain lu pagi-pagi gini udah di kamar gue?" tanya Aya kembali merapatkan selimutnya.
"Udah mau jam 9 gini lu bilang pagi? Bangun, Ay!" Sarah menarik paksa selimut Aya.
"Iiiiish!!" Aya mendengus kesal. "Ada apa sih, Sar?"
"Lu lupa ya sore ini kita mau kemana?" tanya Sarah dengan tatapan menyelidik.
"Kemana emang?" bukan menjawab, Aya malah balik bertanya.
"Beneran gak inget?" Sarah mencoba memastikan. Namun dijawab gelengan dari Aya. "Jakarta."
Aya menepuk pelan keningnya seraya berseru, "Gue lupa!!"
"Pasti lu belom packing ya?" tanya Sarah yang lebih mengarah pada tuduhan. Sementara orang yang ditanya olehnya hanya 'nyengir kuda'. "Udah gue duga."
Sarah berjalan ke arah lemari Aya dan mengeluarkan koper kecil dari sana.
"Lo pilih bajunya, biar gue yang masukin. Inget! Kita seminggu di sana," ujar Sarah memaksa Aya beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju lemari kemudian memilih baju seperti yang disuruh Sarah.
*****
"Yeay!! Jakarta!!" seru Sarah penuh semangat ketika mobil mereka melaju di jalanan padat Jakarta. Aya hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan sepupunya itu.
"Norak deeeh! Kayak enggak pernah ke Jakarta aja." Celetukan Dinda —adik Sarah— berhasil membungkam mulut Sarah. Disusul cekikikan dari Aya.
"Berisik!! Sirik aja!!" balas Sarah dengan wajah cemberut.
"Yang berisik tuh lu, Kak!" Jawaban Dinda makin membuat Sarah kesal. Aya mengelus punggung Sarah yang duduk di sebelahnya dan melayangkan tatapan —sabar ya— pada Sarah.
Sangat biasa baginya melihat pertengkaran adik-kakak ini. Apalagi hampir setahun ini ia tinggal di kota yang sama dengan mereka. Tapi ia akan senang kalau bisa bertukar tempat dengan Sarah yang mempunyai seorang adik dan kakak meski terkadang hari-harinya penuh pertengkaran. Tak sepertinya yang hanya menjadi anak tunggal untuk orang tuanya.
"Udah! Pada bisa diem gak?! Gue lagi konsen nyetir nih." Lagi-lagi Faisal turun tangan untuk menengahi pertengkaran kedua adiknya. Dan berhasil. Kedua adiknya itu sudah kembali menutup mulutnya.
Aya kembali tenggelam dengan pikirannya sendiri. Jakarta. Kota yang mempertemukan dirinya dengan pria itu. Pria yang masih menempati ruang khusus di hatinya. Tak pernah berubah meski beberapa bulan ini ia dan pria itu hanya sebatas sahabat, namun hatinya tetap menginginkan lebih dari itu.
Sudah lebih dari sebulan ia tak lagi menghubungi Ditya. Mencoba bertahan untuk tak membalas pesan dan mendengar suaranya. Meski hatinya berontak, tapi ia tetap bertahan. Seolah dengan seperti itu perasaannya akan cepat berubah.
*****
"Jalan, yuk!" ajak Sarah setelah satu jam sampai di rumah nenek mereka.
"Mau kemana malem-malem gini?" tanya Aya yang tengah bermalas-malasan di kasurnya.
"Kemana aja. Nyari angin, nyari makan, atau... nyari cowok maybe," ujar Sarah tanpa rasa bersalah.
"Gak mau, ah! Capek gue," tolak Aya mentah-mentah.
"Ayo dong! Mumpung masih jam 8 nih. Nenek, papa, sama om Faris ngizinin kok. Gue juga dikasih kunci mobil nih. Tapi lu yang nyetir, ya." Aya terpaksa mengiyakan ajakan Sarah. Mungkin ini bisa menenangkan hatinya yang kacau dari tadi.
*****
"Nasi goreng seafood 1 sama kwetiaw seafood goreng 1. Minumnya ice lemon tea aja 2," kata Aya sambil tersenyum saat memesan makanan di salah satu restoran favoritnya. Ia hendak berbalik ketika matanya menangkap satu wajah yang masih melekat di hatinya.
"Aya..." Suara itu adalah suara yang Aya rindukan. Jantungnya berdegup kencang ketika mendengar suara Ditya. Aya sangat ingin menghambur ke pelukannya jika tak ingat Ditya tak sendiri saat ini.
To be continue,,,
*****
hai hai,,, aku balik lagi bawa sequel "Luka termanis" niih...
Makasih buat @dianane yang udah menginspirasi saya bikin sequel yang sama sekali gak direncanain ini... Well,, ini saya dedikasikan buat kamu @dianane..!!
happy reading..!! semoga suka.. Dan yang suka mohon vote dan comment yaaa...gomawo...:-)
KAMU SEDANG MEMBACA
Move On
Teen FictionSequel dari 'Luka Termanis'. Bagaimana Aya melepas semua perasaannya pada Ditya. Akankah ia bisa atau justru terjerat lebih dalam lagi..? Dan apakah Aya akan mendapatkan seseorang yang akan menggantikan Ditya di hatinya..?