Regret and completion

3.5K 149 13
                                    

Aya terdiam. Menatap punggung Arvin yang makin menjauh. Membiarkannya pergi dengan seonggok penyesalan di hati.

Setelah Arvin berlalu, ia hanya bisa menatap kosong paper bag yang tergeletak di atas meja. Arvin -yang masih sakit- rela mengantarkan donat buatan Riani hanya untuknya. Dan apa yang telah ia lakukan? Membuat Arvin terluka.

Ia sadar apa yang membuat Arvin sangat kecewa padanya. Ia dengan mudah membela Ditya, pria lain yang telah memeluknya. Dan dengan seenaknya menyalahkan Arvin karena tindakannya memukul Ditya.

"Kalo lu nyesel, kejar dong!" seru Sarah yang tiba-tiba muncul.

Aya mendesah, tak mengacuhkan kata-kata Sarah. Ia berbalik dan menjatuhkan tubuhnya di sofa. Wajahnya kusut sekali. Dan di sini lah peran Sarah sangat dibutuhkan.

Sarah mendekati Aya dan perlahan duduk di sampingnya. Memperhatikan Aya yang tengah diam seribu bahasa. Entah mengapa, walaupun ada celah untuknya masuk di antara Aya dan Arvin, tapi sungguh, ia tak akan tega menyakiti sepupu tersayangnya ini.

"Lu kejar dia! Minta maaf. Dan lu gak akan ngerasa bersalah lagi. Percaya sama gue."

Ucapan Sarah bagai perintah dari lubuk hatinya yang terdalam. Hatinya pun berkata seperti itu. Ia harus mengejar dan meminta maaf pada Arvin. Tapi egonya tetap tak ingin kalah. Tak ingin berlari mengejar Arvin. Merasa kalau tak hanya dirinya yang salah, tapi Arvin juga.

"Sebelum lu nyesel nyia-nyiain kesempatan, Ay," ujar Sarah saat tak ada tanggapan apapun dari Aya.

Aya menggeleng dan beranjak dari duduknya. Melangkahkan kakinya menuju kamar. Meninggalkan Sarah yang menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Saat Aya keras kepala seperti sekarang adalah saat-saat yang menyebalkan baginya.

*****

"Vin, kok udah pulang? Cepet banget. Biasanya larut banget kamu pulang," tanya Riani saat membukakan pintu untuk Arvin.

"Avin cuma pengen tidur aja, Bu. Aya juga nyuruh istirahat, kok," dusta Arvin.

"Oh. Padahal tadi pas berangkat semangat banget. Masa tiba-tiba ngantuk?"

Arvin menghela nafas. Berusaha meredam emosi yang masih menguasai pikiran dan hatinya. "Reaksi obat mungkin, Bu. Avin tidur dulu."

Riani mengangguk dan membiarkan anak bungsunya berlalu. Meski Arvin tak berbicara, tapi ia tahu kalau ada sesuatu yang tak beres dengan anaknya itu.

Arvin menghempaskan tubuh di kasur empuknya. Ingin rasanya ia berteriak melepaskan semua amarah dan rasa kesalnya saat ini. Tapi untuk apa? Semua takkan menyelesaikan masalah antara dirinya dan Aya. Bukan salah Aya. Bukan juga salah Ditya. Ia hanya menyalahkan dirinya sendiri yang terlalu emosi sampai-sampai memukul Ditya. Padahal jika saja ia bisa menahan sedikit emosinya, takkan seperti ini jadinya.

Ia kecewa. Amat sangat kecewa pada Aya. Tapi ia lebih kecewa pada dirinya sendiri yang sudah bersikap kekanakan seperti ini. Emosi, marah-marah dan pergi begitu saja tanpa menyelesaikan masalah. Dan malah membuat masalah mereka makin menggantung. Arvin benar-benar kehilangan akal sehat dan kedewasaannya malam ini.

*****

Hari-hari setelahnya, Aya selalu mengacuhkan Arvin. Jangankan bertemu, telepon dari Arvin saja tak pernah diangkat. Sms pun tak pernah dibalas olehnya. Meski Arvin sudah minta maaf sedemikian rupa padanya, tapi Aya masih saja bertahan. Tak mau bicara dengan Arvin. Dan Arvin benar-benar kehabisan cara untuk membujuknya.

"Vin, nanti ajak Aya ke sini, ya!" ujar Anna saat Arvin sedang sarapan.

Hampir saja si bungsu tersedak mendengarnya. Kaget dan bingung bercapur aduk. Bagaimana bisa ia mengajak Aya ke rumah jika gadis itu tak mau bertemu dengannya? Bahkan sms dan teleponnya pun tak pernah direspon oleh Aya beberapa hari ini.

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang