"So, kenapa sama Arvin?" tanya Aya dengan penasaran yang sudah memuncak. Saat ini mereka sedang makan di sebuah kafe.
"Jangan kaget ya. Gue rasa, Arvin naksir deh sama lu," ujar Sarah sukses membuat Aya —yang sedang minum— tersedak.
"Jangan... becanda lu!" katanya tersendat-sendat. Sungguh, tersedak itu menyakitkan.
"Serius gue! Tadi gue liat dia merhatiin lu terus. Sama kayak lu liatin dia," Aya melotot. Kaget dan malu. Tapi rasa malunya lebih besar saat ini. Bagaimana Sarah bisa tahu?
"Ngarang, lu!" Aya berkilah. "Gue gak liatin dia terus, kok."
"Gue punya mata, Aya. Dan mata gue ngasih informasi ke otak gue kalo lu berdua saling suka," sela Sarah. Aya terdiam. Bingung harus menjawab apa. Sarah memang benar-benar jeli dan tak bisa dibohongi. Susah menyembunyikan apa pun darinya.
"Gue bener kan? Lu juga naksir dia?" tanya Sarah dengan pandangan menyelidik.
"Gue gak tau pastinya, Sar. Gue emang suka liat dia. Liat senyumnya, matanya. Tapi terlalu cepet ah kalo lu bilang gue naksir dia," sangkal Aya.
"Terus apa namanya tadi lo lirik-lirikan sama dia?" desak Sarah. Aya makin terpojok. Namun masih tak mau mengakui kalau hatinya mulai tertarik pada sosok Arvin.
"Jangan makin ngaco, deh! Gue cuma liat dia sekilas, bukan lirik-lirikan kayak yang lu bilang." Sarah makin gemas melihat Aya menyangkal ucapannya. Terlebih menyangkal perasaannya sendiri.
"Ya udah lah ya. Gue cape ah debat sama lu. Nyampe kafe ini tutup juga lu gak bakal ngaku." Sarah menyerah. Tak ingin lagi memaksa Aya bicara. Toh pada akhirnya Aya akan memilihnya jadi orang pertama yang mendengar cerita Aya.
"Thank you," balas Aya seraya tersenyum. Lega karena Sarah tak lagi mendesaknya.
"Tapi gue seneng, Ay. Lu udah bisa buka hati lu buat orang lain." Aya tersenyum. Sarah benar. Aya sudah membuka pintu hatinya untuk seseorang selain Ditya.
'Ditya, apa kabar dia?' batin Aya. Sejak pertemuan mereka yang terakhir kalinya di Jakarta, Ditya tak pernah 'mengganggu' Aya. Mungkin ia mulai menata lagi hatinya bersama Nadya. Seperti halnya Aya sekarang. Setidaknya itu yang Aya yakini.
*****
Ditya memainkan ponselnya dengan perasaan tak menentu. Tiga minggu sudah ia mencoba untuk tidak mendengar suara Aya, ataupun sekedar mengirimkan pesan kalau ia akan menunggu Aya seperti Aya menunggunya dulu. Dan itu membuatnya setengah gila. Membuat dadanya sesak. Ia sudah tak tahan dengan perasaannya yang hampir meledak.
"Sayang, kamu kenapa sih?" tanya Nadya gusar. Ia tak tahan melihat kekasihnya yang makin hari makin berubah dingin padanya.
"Gak apa-apa," jawabnya singkat. Perasaannya kacau. Ia berada di toko buku ini pun terpaksa karena Nadya merengek minta ditemani. Niatnya untuk memutuskan Nadya belum ia laksanakan. Tak tega melihat gadis itu harus bersedih karenanya.
"Kalo kamu gak apa-apa kenapa mukanya kusut gitu? Gak suka nemenin aku?! Kenapa gak bilang dari tadi?!" seru Nadya agak keras sehingga orang-orang yang berada di sekitar mereka menoleh. Sementara Ditya menatap Nadya tajam dengan amarah yang memuncak. Amarah yang sejak tadi ia tahan mati-matian dipancing keluar oleh Nadya.
"Oh, kamu lupa siapa yang maksa aku nemenin kamu ke sini?!" tanya Ditya setengah membentak. Tak peduli dengan tatapan orang lain. "Aku dari awal udah nolak nemenin kamu dan nyuruh kamu minta ditemenin sama orang lain aja karena aku lagi pusing banget, Aya!" Nadya mengernyit. Sementara Ditya diam seketika. Sadar dengan kesalahan fatalnya memanggil Nadya dengan nama Aya. 'Damn!' umpatnya dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Move On
Teen FictionSequel dari 'Luka Termanis'. Bagaimana Aya melepas semua perasaannya pada Ditya. Akankah ia bisa atau justru terjerat lebih dalam lagi..? Dan apakah Aya akan mendapatkan seseorang yang akan menggantikan Ditya di hatinya..?