🌤️ his story.

1.1K 183 27
                                    

🏛️

Sore itu, sang orang nomor satu Korea Selatan tengah berdiam di serambi belakang rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sore itu, sang orang nomor satu Korea Selatan tengah berdiam di serambi belakang rumah. Baru kemarin ia pulang ke kampung halaman, setelah hampir setahun bertinggal di Seoul. Demi abdi negara.

Tak ada yang berubah. Herpaan angin menyapu dedaunan kering satu–persatu, kicauan nyiur masih berdendang merdu. Awan sebentar lagi mengantarkan surya untuk terbenam pada bumi, dan disaat itulah ... waktu Taehyung akan berakhir.

Di sini.

"Paman!"

Pekikan seorang remaja lelaki mengejutkan dari balik pintu. Taehyung mengerjap kemudian menoleh, geseran pintu kayu memunculkan laki–laki tanggung berkaus biru laut.

Choi Yeonjun.

Wajahnya tak jauh beda dengan Kim Taehyung. Berkelopak tunggal, wajah datar, bibir plum yang penuh, dan beralis tebal.

Jelas, ia keponakan Kim Taehyung.

"Hei, Nak. Apa kabarmu?" Taehyung menyambut Yeonjun yang menghambur dalam peluknya. Berkali–kali usapan pada punggung ia lakukan, begitu pula dengan Yeonjun yang mendekap erat Sang Paman.

Mereka memang sering bertemu. Bahkan Yeonjun lebih banyak mendapat 'akses' untuk mendatangi Sang Paman hingga ke Istana Presiden, mengingat bahwa Yeonjun juga tengah berkuliah di Seoul.

Yeonjun memberikan jarak, lalu mendudukkan diri pada lantai kayu. Di sebelah Taehyung. "Baik, Paman," angguknya penuh semangat. Lalu, Yeonjun berkutat pada ponsel. Aplikasi rekaman itu ia nyalakan. "Jadi, langsung saja."

Hah? Apa maksud anak ini? Taehyung mengernyit bingung. "Aku ... tak paham?"

Yeonjun lantas berdecak malas. Ia malas mengungkit. Sang Paman sepertinya sudah lupa, atau ... pura–pura melupakan? Jelas, perjanjian yang mereka buat belumlah sampai tiga hari. "Paman sendiri yang bilang padaku, bukan? Paman ingin mencari wanita itu—si Guru yang seharusnya menjadi calon Bibiku!" sungutnya malas.

"Tentang, 'ku mohon, buatkan aku satu fiksi menakjubkan dari pengalamanku. Itu harus terlihat natural. Namun, nyata. Agar ia menyadari keberadaanku, dan itu berasal dariku'."

Astaga. Taehyung berdecak kesal pada diri sendiri. Tugas kenegaraan sepertinya turut membuat ingatannya menjadi terkikis seiring usia berlalu, hal ini saja ia bisa lupa?

Tapi, tidak untuk yang satu 'itu'.

"Ya. Tentu, aku ingat, Yeonjun."

Yeonjun mengangguk.

"Aku mempercayakan ini padamu. Buatkan aku sebuah buku, sekaligus media bagiku untuk mencarinya. Waktumu hanya tiga jam. Sebelum pukul enam, aku harus kembali."

"Itu tak sulit," ujar Yeonjun bangga. Tak perlu meragukan kepiawaiannya lagi dalam mengarang sebuah cerita. Nyatanya, anak itu memang seorang penulis tenar yang akhir–akhir tahun ini 'menelurkan' tiga buku ber-genre spiritual.

Untuk itulah, Taehyung memanfaatkan kondisi ini.

"Aku rasa, aku masih belum siap." Taehyung menarik napas dalam–dalam. Gumpalan sesak berpendar dalam dada, seluruh memorial itu satu–persatu terpanggil dalam ingatan.

Yeonjun mengusap dagu. Merasa paham, Mahasiswa jurusan Jurnalistik itu berujar, "Baiklah. Sebelum semuanya dimulai, aku akan memberi beberapa pertanyaan padamu, Paman."

"Ya, silahkan." Taehyung bersahut serak.

"Pertama, siapa namanya?"

"Guru Bae."

"Seperti apa, dia?"

Taehyung melirik sinis pada Yeonjun. Ini pertanyaan yang bukan sekali ia dengar. Yeonjun sudah tahu seperti apa sosok Bae Joohyun, karena anak lelaki itu sudah menjadi tong-sampahnya selama dua tahun.

"Paman, jawab saja."

"Dia ... cerdas, cantik, dan tangguh."

"Terakhir kali bertemu?"

"Sebelum ia kembali ke Seoul. Saat Magangnya selesai."

"Paman menyukainya?"

"Aku tak punya waktu banyak, Choi Yeonjun."

"Ayolah, Paman. Aku juga membutuhkan semua ini!"

Sialan juga anak ini. "Kata–kata saja tidak cukup bagiku."

Yeonjun ber-oh. Anak itu semakin bersemangat menggali pertanyaan. "Apa hal yang Paman sukai darinya?"

"Dia ... sempurna?"

Yeonjun terbahak. "Lanjut. Apa hal yang dia suka dari Paman?"

"Ku pikir ... tidak ada."

"Kenapa?"

Jika ya, mungkin mereka tak akan berpisah selama ini. Taehyung mendadak kelu. "Berikutnya."

"Apa yang menjadi hambatan bagi pendekatan kalian, maksudku—Paman?"

"Satu sialan brengsek."

"Astaga, ironi." Yeonjun bergidik. "Baiklah, sebelum memulai seluruh cerita. Ada perkataan yang ingin Paman berikan di sampul buku? Seperti kalimat handal, untuk menarik pembaca. Ku pikir, itu sudah keharusan." Singkatnya, anak ini membujuk.

Taehyung tertegun agak lama. Debaran jantungnya perlahan bertalu cepat diikuti satu wajah yang terus berputar dalam benak. Aroma, sentuhan, suara, semua berpadu dengan indah. Ia ... mendadak malas untuk pulang. "Ya," Taehyung tertegun kosong. "Kalimatnya; 'akan ku bawa kau pulang'." []—

a/n: terimakasih untuk teman–teman bellatrixia yang sudi mampir dibuku sederhana ini. semoga kalian betah ke depannya ya, dan segala bentuk feedback kalian sangat berarti untuk penulis❤️

xoxo, wafleur

take you home. [vrene] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang